Intisari-Online.com - Dunia menghadapi pandemi Covid-19 selama kurang lebih 2 tahun terakhir.
Sejauh ini, ada negara yang lebih banyak atau lebih sedikit mencatatkan kasus positif dan kematian akibat Covid-19 dibanding negara lain.
Tampaknya Jepang merupakan salah satu negara yang menghadapi lebih sedikit kematian akibat infeksi Covid-19, dibanding negara-negara Barat.
Angka dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS menunjukkan bahwa untuk setiap 1 juta orang di negara itu, 2.382 orang meninggal karena Covid-19. Sementara angka ini di Jepang adalah 146 kematian per 1 juta orang.
Setiap harinya, negara-negara di dunia masih mencatatkan penambahan kasus positif Covid-19.
Berdasarkan data Worldometers, hingga Minggu (26/12/2021) pagi, tercatat total 279.812.547 kasus Covid-19 di dunia sebanyak 279.812.547 kasus Covid-19, 5.413.023 korban meninggal, dan 250.010.696 sembuh.
Amerika Serikat masih menjadi negara dengan jumlah kasus infeksi Covid-19 terbanyak di dunia, dengan kasus positif sebanyak 53.026.765, 837.779 orang meninggal, dan 41.001.184 sembuh. Disusul India, Brazil, Inggris, dan Rusia.
Jepang yang mencatatkan kematian lebih sedikit rupanya malah memiliki cara penanganan yang jauh berbeda dibanding banyak negara lain.
Baca Juga: Memanfaatkan Bonus Demografi Menuju Indonesia Emas 2045
Pengujian Covid-19 skala besar diketahui selama ini dilakukan negara-negara di dunia sebagai upaya memutus penyebaran virus corona, tetapi Jepang justru tidak melakukannya.
Pendekatan tersebut sempat membuat banyak ahli medis khawatir, karena kemungkinannya akan membuat wabah penyakit semakin kuat dan pasien akan membanjiri rumah sakit di Jepang.
Tetapi, kini hasilnya malah membuat heran karena Jepang justru tampak berhasil mengendalikan penyebaran virus corona.
Melansir 24h.com (26/12/2021), Jepang hanya menargetkan kelompok orang yang paling rentan dari epidemi.
Menurut Japan Times, Jepang hanya melakukan 215.247 tes PCR per juta orang, sedangkan AS melakukan 2.159.192 tes PCR per juta orang.
Sebuah studi baru oleh Tokyo Institute of Medical Sciences memperkirakan bahwa dari Januari 2020 hingga Maret 2021, Jepang mencatat lebih dari 470.000 kasus Covid-19.
Sementara jumlah yang dilaporkan oleh fasilitas kesehatan selama periode yang sama hanya lebih dari 120.000 kasus.
Disparitas tersebut mengarah pada kesimpulan bahwa beberapa ahli telah menyatakan sejak awal epidemi bahwa Jepang tidak melakukan pengujian yang cukup untuk mendeteksi kasus virus, dan AS mendapat pujian dengan pengujiannya.
Bukan hanya AS, China juga melakukan pengujian skala besar terhadap penduduknya.
China menguji seluruh populasi, ini dipandang sebagai langkah utama untuk menangani wabah Covid-19 yang sporadis.
Bahkan, menghindari pengujian dapat mengakibatkan hukuman.
Dengan beberapa kota berpenduduk lebih dari 10 juta orang, China tak segan-segan melakukan uji coba secara besar-besaran.
Pendekatan tersebut membantu China dengan cepat memadamkan wabah, tetapi itu mempengaruhi aktivitas banyak orang serta perekonomiannya.
Sejak awal tahun, China juga terus mencatat penyebaran wabah kecil, terutama di wilayah provinsi yang berbatasan dengan Rusia dan Mongolia.
Meski begitu, mnurut banyak pakar kesehatan, pengetesan secara luas belum mampu mengimbangi kecepatan penyebaran Covid-19, dan tampaknya upaya pengetesan massal dilatarbelakangi oleh ketakutan akan virus, bukan perhitungan berdasarkan manfaat sebenarnya.
Sementara dengan pengalaman dalam menangani epidemi, Jepang memutuskan untuk menghentikan pengujian massal Covid-19 dan fokus pada karantina hanya orang tua dan mereka yang berisiko tinggi tertular virus.
Jepang memiliki pandangan berbeda tentang pengujian yang meluas.
Negara ini menyadari bahwa tes massal membutuhkan banyak waktu, uang, dan tenaga dari staf medis.
Menurut Japan Times, pengujian yang meluas menyebabkan jumlah infeksi virus di Jepang meningkat "secara vertikal" seperti skor bisbol. Ini membuat orang khawatir dan berpikir bahwa epidemi ada di mana-mana, semua orang berisiko terluka, tetapi melupakan orang tua yang paling membutuhkan perawatan.
Undang-undang perawatan medis Jepang menetapkan bahwa siapa pun yang dites positif, bahkan tanpa gejala, harus dibawa ke pusat medis atau rumah sakit untuk pemantauan.
Peraturan tersebut dikatakan membuat lelah dokter dan perawat di Jepang karena jumlah orang yang terinfeksi virus terlalu besar dan menyebabkan pemborosan sumber daya medis yang serius ketika beberapa pasien sebenarnya tidak perlu dirawat di rumah sakit.
Untuk mengatasi masalah ini, Jepang mengubah strateginya, menghentikan pengujian yang meluas dan hanya berfokus pada kelompok rentan selama pandemi.
Dengan 29,3% populasi berusia 65 tahun ke atas, Jepang telah menghitung dengan cermat apa yang harus dilakukan.
Mulai 8 Juni 2020, Jepang memutuskan untuk menghentikan pengujian dalam skala besar dan fokus pada karantina hanya di pusat perawatan kesehatan, rumah sakit, daerah pemukiman padat, dan panti jompo.
Tujuan Jepang jelas, yaitu mengurangi jumlah kematian akibat Covid-19 di kalangan orang tua.
Kini, di antara ekonomi terbesar di dunia, Jepang memiliki tingkat kematian Covid-19 terendah.
Sistem kesehatan juga tidak kewalahan, dengan sumber daya medis terselamatkan, dan pemerintah tidak memaksa bisnis untuk tutup.
Jumlah kasus baru per hari yang tercatat di Jepang kini turun menjadi kurang dari 1 kasus/1 juta orang.
Keputusan untuk menghentikan pengujian Covid-19 skala besar di Jepang pun diperhatikan dan dipelajari oleh AS, Inggris, dan banyak negara Eropa.
(*)