Intisari - Online.com -Pengadilan Indonesia telah memberikan kemenangan hebat untuk hak Suku Asli Papua dalam kasus yang mencekik aktivis Papua Barat terkait klaim beberapa perusahaan kelapa sawit.
Pengadilan Administratif Jayapura di Provinsi Papua Barat Selasa kemarin memutuskan menyetujui tuntutan kepala distrik yang mencopot izin bagi lebih dari selusin perusahaan kelapa sawit untuk beroperasi di wilayah hutan Tanah Adat dan mengubahnya menjadi perkebunan.
Johny Kamoru, bupati Sorong, membatalkan izin setelah kelompok Adat mengatakan mereka tidak mendapatkan penjelasan mengenai pengubahan tanah adat menjadi lahan perkebunan kelapa sawit dan sebuah ulasan oleh pemerintah provinsi menyebutkan hal ini sudah sejak Februari 2021.
Tiga perusahaan yang terdampak tuntutan melawan Kamaru antara lain PT Papua Lestari Abadi dan PT Sorong Agro Sawitindo, yang pengajuannya agar izin mereka dikabulkan ditolak oleh pengadilan.
Kamuru juga telah dituntut oleh PT Inti Kebun Lestari dalam kasus yang terpisah dan kini masih berlanjut.
Di bawah otoritas yang diberikan Presiden Jokowi tahun 2018, review izin kelapa sawit seharusnya dilakukan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Tidak ada dari kedua kementerian yang berkomentar publik mengenai kasus di Sorong, seperti mengutip Al Jazeera.
Tahun 2019, Jokowi mengisukan sebuah moratorium dalam perkembangan perkebunan kelapa sawit baru sebagai bagian dari dorongan mengakhiri deforestasi di Indonesia.
Moratorium tersebut hangus September tahun ini dan bisa dilanjutkan karena UU Cipta Kerja yang kontroversial.
Undang-undang itu memperbolehkan perusahaan yang telah beroperasi secara ilegal untuk mendaftarkan secara retroaktif untuk izin dalam 3 tahun dan keluar dari sanksi hukum jika mereka melakukannya.
Sementara itu, tanah Adat yang hendak 'dicuri' ini adalah milik suku Moi, salah satu dari 250 suku etnis Papua.
Mengikuti keputusan tersebut, advokat Moi dan kepala dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) di Sorong merayakan di depan kantor distrik daerah.
Ambrosisus Klagilit, koordinator advokat untuk cabang Sorong dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengatakan ia "bersyukur" untuk kemenangan hukum tersebut.
"Keputusan ini penting bagi kami warga Adat karena kami yakin ini merupakan keputusan yang memastikan masa depan dan tanah kami. Kami merasa terlindungi sekarang," ujarnya dikutip dari Al Jazeera.
Total tanah yang dicakup tiga perusahaan itu membentang sebesar 90.031 hektar, menurut Greenpeace Indonesia, wilayah yang lebih besar daripada kota New York.
Oktober lalu, Greenpeace Indonesia merilis sebuah laporan dengan pakar pemetaan lingkungan TheTreeMap yang menemukan seperlima dari perkebunan kelapa sawit Indonesia berada di wilayah yang ilegal, termasuk tanah Adat, taman nasional, daerah aliran sungai (DAS) dan wilayah konservasi yang dirancang sebagai "hutan nasional".
Sejak tahun 2000, tanah hutan sebesar hampir 1 juta hektar telah dilepaskan untuk perkebunan di Provinsi Papua, menurut Greenpeace, dengan "pelanggaran sistematis aturan perizinan" sering terjadi.
Indonesia adalah eksportir terbesar minyak kelapa sawit, mendapatkan USD 5,7 miliar atau 11% dari ekspor tahunan Indonesia.
Minyak kelapa sawit dipakai untuk berbagai produk, dari sabun sampai coklat.
Indonesia mengekspor 37.3 juta ton minyak kelapa sawit tahun 2020, menyumbang 55% dari pasar minyak kelapa sawit global menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAKI).
Ekspor minyak kelapa sawit meningkat sebesar 32% pada Juli 2021 dibandingkan bulan sebelumnya untuk mencapai USD 2,8 miliar, menurut GAKI.
Syahrul Fitra, ahli kampanye untuk Greenpeace Indonesia, mengatakan kepada Al Jazeera jika keputusan ini merupakan kemenangan besar untuk hak masyarakat Adat dan pelestarian lingkungan.
"Greenpeace Indonesia telah temukan jika manajemen industri kelapa sawit penuh dengan masalah seperti gangguan atas tanah Adat, bertumpang tindih dengan wilayah hutan nasional dan wilayah yang terlindungi lainnya, izin yang tidak sesuai prosedur, dan kegagalan protes izin," ujar Fitra.
"Bupati Sorong bergerak dengan tepat untuk menangani aksi-aksi yang salah ini ketika ia mengambil langkah konkret membatalkan sejumlah izin dari beberapa perusahaan kelapa sawait, bertindak berdasarkan review menyeluruh dengan pemerintah Provinsi Papua Barat bersama dengan KPK."
Greenpeace Indonesia mengatakan mereka menerima keputusan ini dan berharap akan memperkuat aksi penolakan kabupaten dan provinsi-provinsi lain dan mendorong pemerintah nasional mendukung review izin dan revokasi jika diperlukan.
Wirya Supriyadi, koordinator advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) di Papua, menggambarkan keputusan ini sebagai "gebrakan positif" dan sebuah "kemenangan" untuk suku Moi.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini