Intisari - Online.com -Dampak utama dari pertukaran antar budaya dan perdagangan dengan barat dan selatan Asia adalah biasanya digambarkan secara kolektif sebagai Hinduisasi.
Melansir Britannica, anggapan sebelumnya jika Hinduisme datang ke Indonesia lewat pedagang seperti diajarkan buku-buku sejarah ketika sekolah ternyata salah.
Hindu dibawa ke Indonesia oleh Brahmana dari India yang mengajarkan Shaivisme dan membawa pesan keabadian pribadi.
Prasasti dengan bahasa Sansekerta ditinggal pada abad ke-5 dan ke-6 telah ditemukan di timur Kalimantan, sebuah jarak yang patut diperhitungkan dari rute perdagangan internasional dan juga di Jawa barat.
Prasasti menunjukkan jika sastrawan India, atau murid-murid Indonesia mereka, dihormati di beberapa pengadilan kerajaan.
Penguasanya, disebut raka, adalah pemimpin grup desa yang menjanjikan di wilayah di mana irigasi dan kebutuhan lain memulai hubungan antar desa dan perkembangan otoritas antardesa; prasasti dan sumber China, mengindikasikan jika beberapa penguasa ini terlibat dalam perang, mungkin dalam upaya memperluas pengaruh mereka.
Para Brahmana Shaivite mengawasi pemujaan simbol Shiwa, yaitu lingga, untuk mendapatkan bantuan dari Tuhan atas pengawasan kerasaan.
Para Brahmana ini adalah perwakilan dari pegerakan setia berpengaruh yang meningkat (bhakti) di Hinduisme India saat itu, dan kemungkinan mereka mengajarkan kepada murid mereka bagaimana mencapai hubungan pribadi dengan Tuhan melalui "pertapaan, kekuatan dan pengendalian diri," seperti dikatakan dalam salah satu prasasti dari Kalimantan.
Penguasa-penguasa itu oleh sebab itu, didorong untuk menghubungkan kesuksesan duniawi mereka dengan anugrah Shiwa, bahwa rahmat diperoleh melalui latihan renungan yang dipersembahkan kepada Shiwa dan kemungkinan dianggap sebagai jaminan status superior dalam kehidupan setelah kematian.
Kultus Shaivaite ini menjadi tanda kehidupan spiritual yang istimewa dan sumber kebanggan dan otoritas kerajaan.
Konsepsi agama di Indonesia
Warga Indonesia atau Nusantara saat itu, yang sudah membangun candi bertingkat, sebagai simbol pegunungan suci untuk menghormati dan mengubur mereka yang sudah meninggal, tidak akan kebingungan oleh doktrin Brahmana jika Shiwa juga berdiam di pegunungan suci.
Megalitik yang telah diletakkan di teras-teras pegunungan untuk tujuan ritual dengan mudah diidentifikasi sebagai lingga batu alam Shiwa, lingga paling berharga dari semua lingga.
Warga Indonesia, yang sudah khawatir dengan ritual penguburan dan kematian akibat perang dan siapa yang dianggap mampu menjelaskan ritual pekerjaan logam sebagai transmutasi dan pembebasan jiwa secara spiritual, akan memperhatikan teknik pemujaan Hindu untuk mencapai keabadian di tempat tinggal Shiwa.
Pertapaan mediatif Hindu mungkin telah dilestarikan di Indonesia dengan dukun penyembuh.
Tambahan lagi, teori jika air adalah agen pemurni karena air telah dibersikan oleh energi kreatif Shiwa di puncak pegunungan akan dapat dipahami Indonesia yang memuja gunung, terutama jika mereka sudah mengkonsumsi air mengalir dari puncak pegunungan mereka sendiri dengan kualitas penyubur yang hebat.
Masuknya para Brahmana ke dalam kerangka agama Indonesia kemungkinan dimulai dengan misionaris Budha sebelumnya yang datang ke Indonesia.
Ia membagikan paham jika Hindu untuk agama penyelamat.
Namun pandangan dari yang pertama kali mendengar para Brahmana tersebut adalah dengan pasti diberi informasi oleh konsep agama yang asli.
Dianggap secara khusus sebagai guru, para Brahmana mendapat kepercayaan warga Indonesia dengan mendemonstrasikan cara-cara mencapai tujuan religius yang tampak penting dalam sistem kepercayaan pada umumnya.
Namun ada juga tangan-tangan Indonesia yang mempengaruhi penyebaran Hindu di Indonesia di zaman Nusantara.
Kondisi Indonesia dan motivasi saat itu menjadi dasar adopsi bentuk India ke dalam Nusantara.
Penggunaan terminologi Hindu dalam prasasti menunjukkan tidak lebih dari upaya Indonesia untuk menemukan ekspresi metafor yang cocok dari sastra Sansekerta yang suci untuk menggambarkan kenyataan mereka sendiri.
Sastra Sansekerta, yang diimpor dari India dalam bentuk manuskrip atau sebagai tradisi lewat mulut ke mulut, akan menarik terutama ketika para murid agama Hindu mencari cara menggambarkan para penguasa yang telah mencapai hubungan pribadi dengan Shiwa.
Warga Nusantara, seperti halnya warga-warga Asia Tenggara zaman dahulu, tidak kesulitan menjadikan mereka salah satu dari nilai-nilai universal dari peradaban Hindu sebagai dituliskan dalam sastra-sastra suci.
Sementara sastra India dan catatan hukum menyediakan arahan berguna untuk penulisan kreatif Indonesia, mereka tidak membawa mengenai prosesi Hinduisasi Indonesia lebih dari Brahmana India bertanggung jawab menjadi pembentukan kerajaan-kerajaan Hindu di Nusantara.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini