Intisari-Online.com -KerajaanMajapahitdianggap sebagai cikal bakal terbentuknya Indonesia.
Kerajaan ini didirikan oleh Raden Wijaya pada 1294. Pusatnya di selatan Sungai Brantas, Trowulan, Mojokerto.
Kerajaanmajapahitmengalami kejayaan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk.
Kerajaan Majapahit juga sudah memiliki aturan tersendiri yang mengatur tindakan asusila.
Menurut ulasan Historia.id, kerajaan Majapahit sudah mengatur dengan ketat antara hubungan laki-laki dan perempuan.
Salah satu pendoman yang digunakan oleh Kerajaan Majapahit adalah teks perundang-undangan Agama terdapat di bab paradara yang kabarnya ada 275 pasal.
Teks tersebut mengatur berbagi jenis model hukuman yang akan diberikan pada pelaku tindakan kekerasan seksual.
Meski begitu, keputusan final tetap berada di tangan Raja, entah mau memberikan hukuman yang ringan atau berat.
Kepada seorang yang bermain nakal kepada istri orang, Kerajaan majapahit akan memberikan hukuman berat.
Menurut arkeolog Puslit Arkenas, Titi Surti Nastiti dalam Perempuan Jawa yang dikutip Historia.id, laki-laki yang melihat secara langsung pasangannya disetubuhi, diperbolehkan untuk memotong tangan atau minta denda yang besar.
Bahkan, diperbolehkan juga untuk membunuh sang pelaku.
Sedangkan, untuk mereka yang belum menikah tapi berani bermain nakal, pelaku tindakan asusila akan dilabeli Babi dan dihukum empat tali oleh sang Raja.
Cara Majapahit dalam menentukan sanksi juga tergantung pada saksi, dimana akan semakin berat jika dalam kasus semacam ini perbuatan diketahui pihak ketiga.
Dan yang hebat dalam hal ini, kerajaan termasyur tersebut juga tidak pandang bulu dalam memberikan hukuman, siapa saja termasuk pendeta sekalipun melakukan hal negatif model itu akan diberikan sanksi.
Selain itu, juga sudah ada hukum yang mengatur tentang praktik santet.
Di Kerajaan Majapahit menenung merupakan salah satu bentuk kejahatan yang disebut tatayi.
Dikatakan, menenung sesama manusia akan dikenakan pidana mati.
Tidak ada orang yang terkecuali dari undang-undang tatayi ini.
Menjatuhkan pidana mati kepada orang yang melakukan tatayi adalah darma yang tak boleh dihindarkan oleh seorang raja.
Jika kesalahannya terbukti, harus dijatuhi pidana mati tanpa proses apapun.
(*)