Penulis
Intisari-Online.com - Letusan Gunung Kelud pada 1586 diperkirakan oleh para ahli sebagai akhir dari sejarah kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Dipercaya, letusan yang konon menewaskan lebih dari 10.000 orang itu mengakhiri Kerajaan Majapahit yang saat itu memang telah diwarnai beragam konflik politik internal.
Di balik letusan Gunung Kelud itu rupanya terdapat legenda tentang kutukan Lembu Sura, makhluk berkepala lembu.
Bunyi kutukan itu: "Yoh, Kediri mbesuk bakal pethuk piwalesku sing makaping-kaping, yaiku Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi latar, lan Tulungagung dadi kedung."
Luluk lantaknya tiga wilayah itu setelah Gunung Kelud meletus dikaitkan dengan kutukan Lembu Sura.
Kisah yang dituturkan melatarbelakangi kutukan itu adalah tentang lamaran Lembu Sura untuk seorang gadis cantik.
Ada berbagai versi tentang siapa gadis yang dilamarnya, tetapi pada intinya kisahnya sama.
Satu versi, adalah cerita dengan perempuan cantik Dewi Kilisuci yang adalah anak Jenggolo Manik.
Sementara versi lainnya, adalah kisah tentang Dyah Ayu Pusparani, putri dari Raja Brawijaya, penguasa tahta Majapahit.
Kisah Asal-usul Kutukan Lembu Sura
Kisah ini bermula dari kecantikan yang tersohor, mendatangkan para pelamar, tetapi sayangnya yang datang tak sesuai harapan.
Seperti kisah Rorojonggrang dan Candi Prambanan yang terkenal, wanita cantik ini menolak dengan halus, memberikan syarat yang tampaknya sangat sulit dipenuhi.
Untuk menolak lamaran Lembu Sura, dibuatlah syarat pembuatan sumur sangat dalam hanya dalam waktu semalam.
Tak disangka oleh sang wanita cantik yang dilamarnya, Lembu Sura punya kekuatan dan kemampuan untuk mewujudkan syarat yang tampak mustahil dilakukan itu.
Melihat perkembangan yang dicapai Lembu Sura, membuat sang putri pun menangis.
Kemudian, Ayahnya sang gadis dalam versi kisah yang mana pun, memerintahkan para prajurit untuk menimbun Lembu Sura yang masih terus menggali di sumur persyaratan itu.
Batu demi batu dimasukkan ke lubang sumur, menjadi sebentuk bukit menyembul karena ada Lembu Sura di dalamnya.
Ketika baru satu batu dilemparkan, Lembu Sura masih memohon untuk tak ditimbun.
Tetapi, begitu menyadari bahwa permohonannya akan sia-sia, keluarlah "sepatan" atau kutukan Lembur Sura.
Sejak saat itulah legenda Gunung Kelud dan kedahsyatan letusan maupun dampaknya mengemuka.
Letusan Gunung Kelud pada 1586 dikaitkan dengan kutukan ini dan runtuhnya Kerajaan Majapahit. Meski catatan sejarah menyebutkan Kerajaan Majapahit diperkirakan runtuh pada kisaran angka tahun 1478.
Soal hal itu, para sejarawan hari ini pun mengakui masih banyak yang belum terkuak soal sejarah kerajaan Majapahit, seperti misalnya dugaan ada dua Majapahit pada satu masa.
Tak ada catatan sejarahnya, tetapi letusan yang terjadi pada letusan 1586 diperkirakan memakan korban lebih dari 10.000 jiwa, karena bukan letusan itu saja yang menyebabkan banyaknya korban.
Sebagai gambaran, letusan pada 1919 yang notabene relatif lebih modern dibandingkan kondisi pada 1586, juga menewaskan ribuan orang. Ketika itu, angka yang tercatat adalah 5.160 orang.
Dampak sesudah letusan juga tak kurang buruknya. Diduga, kematian puluhan ribu orang pada letusan tahun 1586 juga disebabkan kelaparan.
Pembangunan Terowongan sebagai Mitigasi bencana
Dipercaya atau tidak, selain 11 sungai yang ada di Kediri, hari ini di Tulungagung pun ada Bendungan Wonorejo, sementara Blitar menjadi sebidang tanah datar di kawasan yang dikelilingi danau dan sungai tersebut.
Kemudian sejak letusan 1919, dilanjutkanlah upaya pembangunan terowongan di kaki gunung berketinggian 1.731 meter tersebut.
Terowongan-terowongan tersebut berfungsi mengurangi volume air di kawah danau.
Catatan tertua tentang upaya mengurangi dampak dari lahar cair, gabungan magma dan air danau yang mendidih, adalah "kelahiran" Sungai Harinjing yang sekarang dikenal sebagai Sungai Sarinjing di Desa Siman, Kecamatan Kepung, Kediri.
Kehadiran Sungai Serinjing tercatat dalam prasasti Harinjing di Desa Siman.
Dalam prasasti yang dikenal pula sebagai Prasasti Sukabumi itu, tertera angka tahun 921 M. Di situ diceritakan soal pembangunan bendungan dan sungai yang dimulai pertama kali pada 804 M.
Selain itu, terowongan pengalir air dari danau kawah buatan 1926, setelah letusan pada 1919, masih berfungsi sampai sekarang.
Setelah letusan 1966, Pemerintah Indonesia membangun terowongan baru yang lokasinya 45 meter di bawah terowongan lama. Terowongan bernama Ampera ini fungsinya menjaga volume air danau kawah tak lebih dari 2,5 juta meter kubik.
(*)