Intisari-Online.com – Malangnya kapal selam nuklir Soviet K-19 ini mungkin bisa jadi legenda cerita rakyat, kisah nasib buruk beberapa pelaut di laut.
Selama pembangunannya saja, serangkaian kecelakaan aneh menimpa pekerja galangan kapal yang ditugaskan untuk membuat K-19 laik laut.
Ini terjadi pada akhir tahun 1950-an, ketika Uni Soviet mengejar pembangunan kapal selam nuklir Amerika.
Kapal selam K-19 dimaksudkan untuk menjadi yang pertama di kelasnya.
Kapal selam itu dilengkapi dengan rudal balistik, nuklir yang mampu memberikan pukulan telak ke garis pantai AS.
Proyek ini sangat penting karena tahun 1961 ketika kapal selam melakukan pelayaran pertamanya, Perang Dingin berada di ambang menjadi termonuklir.
Namun, konstruksi kapal selam bak dibuat dengan tergesa-gesa, menyebabkan sepuluh kematian sebelum kapal selam selesai di galangan kapal Severodnivsk di ujung utara Uni Soviet.
Proyek 658, atau kapal selam Kelas Hotel, mengalami masa konstruksi yang merepotkan.
Dua pekerja tewas dalam kecelakaan kebakaran yang terjadi pada tahun 1958.
Enam wanita meninggal karena asap yang dikeluarkan dari lem yang digunakan untuk lapisan karet pada tangki air.
Selama pemutaran rudal, seorang insinyur hancur oleh tabung rudal, dan satu meninggal dalam kecelakaan aneh dengan jatuh di antara dua kompartemen di dalam kapal selam.
Pada tahun 1959, setelah K-19 dianggap layak laut, dilakukan upacara peresmian untuk merayakan pencapaian terbaru Uni Soviet dan kebanggaan Angkatan Lautnya.
Melawan tradisi angkatan laut, seorang pria, bukan seorang wanita, dipilih untuk memecahkan botol sampanye ke kapal selam selama peluncuran.
Saat Kapten Peringkat 3, V.V. Panov mengayunkan botol ke buritan kapal selam, botol itu tidak pecah, tetapi malah memantul.
Para kru yang menyaksikan ini mengatakan bahwa akan ada pertanda buruk, karena kapal itu dalam beberapa cara telah dikutuk.
Pada tahun 1960, karena kebingunan di antara para kru, reaktor nuklir di kapal selam tidak dioperasikan dengan benar, hingga membengkokkan salah satu batang kendali.
Perbaikan tersebut menunda pelayaran pertama, dan beberapa anggota awak, termasuk kapten diturunkan.
Komando K-19 kemudian diberikan kepada Kapten Pangkat 1 Nikolai Vladimirovich Zateyev, seorang perwira yang ambisius dan cakap, yang menerima promosi dari Marshall Zhukov, Menteri Pertahanan Uni Soviet.
Namun, setelah beberapa kali uji coba, kualitas konstruksi K-19 pun dipertanyakan.
Kapal itu kehilangan lapisan karet dari lambungnya, sehingga harus melalui perbaikan tambahan.
Beberapa lainnya juga dilaporkan malfungsi selama masa percobaan, termasuk penggenangan kompartemen reaktor.
Semuanya menunjukkan cacat dalam desain, tetapi karena kapal menjadi sorotan dalam perlombaan senjata, maka banyak dari masalah ini yang diabaikan oleh pejabat tinggi.
Pada tanggal 30 April 1961, kapal selam itu akhirnya menerima penugasan.
Dengan membawa 139 awak, K-19 juga menampung berbagai petugas rudal, petugas reaktor, petugas torpedo, dokter, juru masak, pramugari, dan beberapa petugas pengamat.
Selama misi resmi pertamanya itu, K-19 melakukan latihan di Atlantik Utara, dekat ujung selatan Greenland.
Pada tanggal 4 Juli 1961, kapal selam mengalami kerusakan lagi.
Baca Juga: Dikecam AS dan Eropa, Korea Utara Bela Diri Luncurkan Rudal Balistik untuk Alasan Ini
Keboran besar dalam reaktor menyebabkan sistem pendingin gagal, sehingga suhu naik yang membahayakan inti nuklir.
Selain berpotensi bencana, sistem radio jarak jauh juga rusak, maka jadilah tidak ada cara untuk menghubungi Moskow untuk memberi tahu tentang situasi mereka.
K-19 beroperasi di dekat salah satu pangkalan NATO di Samudra Atlantik.
Perhatian utama Kapten ketika itu adalah kemungkinan bisa menyebabkan pecahnya Perang Dunia Ketiga bila terjadi ledakan nuklir yang mengalahkan Hiroshima dan Nagasaki di sekitar pangkalan.
Reaktor dimatikan, tetapi terus memanas hingga mencapai suhu 800 derajat Celcius, itu hampir meledak dan perlu segera didinginkan.
Kapten Zatayev memerintahkan tim teknik langsung ke ruang reaktor untuk membuat sistem pendingin darurat dengan memotong salah satu katup pada reaktor dan menghubungkannya ke pipa pasokan air.
Orang-orang itu sadar akan bahaya radiasi tetapi mereka mengikuti perintah meskipun peralatan keselamatan di kapal selam itu sangat minim.
Tingkat radiasi yang tinggi itu pun mengambil korban, melansir Way History Online.
Setelah perbaikan selesai, semua orang yang merupakan bagian dari tim teknik mengalami penyakit radiasi akut, yang membuat mereka akhirnya dirawat di rumah sakit, namun meninggal dalam waktu satu bulan kemudian.
Uap radioaktif yang mengandung produk fisi yang dilepaskan selama pembukana ruang reaktor tertutup ditarik ke dalam sistem ventilasi kapal yang sampai batas tertentu mencemari seluruh kapal selam, ini membuat semua orang berisiko keracunan radiasi.
Karena kecelakaan ini, Kapten Zatayev membatalkan misi dan menuju ke selatan dengan harapan bertemu kapal selam ramah yang mungkin berada di sektor tersebut.
Sebuah kapal perusak Amerika menerima panggilan darurat jangka pendek dari K-19 dan mulai membayanginya, bahkan menawarkan bantuan.
Tetapi Zatayev menolak, karena dia takut akan dianggap sebagai pengkhianat Soviet, hukuman yang lebih buruk daripada kematian bagi seorang perwira Soviet.
Dia tidak bisa membiarkan Amerika mendapatkan kapal selam nuklir Soviet pertama itu, tetapi kru kapal semakin cemas.
Pemberontakan semakin terlihat di depan mata, dan seiring berjalannya waktu, Zatayev kehilangan pilihannya.
Untunglah, S-270 bertenaga diesel muncul di cakrawala.
Meskipun ada perintah untuk tetap berada di atas K-19 dan menunggu kapal penarik untuk membawa mereka kembali, namun kapten mengevakuasi kapal selam ke S-270.
Lima belas awak kapal selam K-19 tewas dalam dua tahun berikutnya.
K-19 kembali beroperasi beberapa bulan setelah kecelakaan itu tetapi nasib buruk membuntutinya sampai akhirnya dinonaktifkan pada tahun 1990.
Pada November 1969, kapal selam itu terlibat dalam kecelakaan tabrakan dengan kapal selam Amerika USS Gato di Laut Barents, hingga mengalami kerusakan parah.
Sebuah kecelakaan kebakaran beberapa tahun kemudian merenggut dua belas pelaut lainnya di atas K-19.
Tak heran, bila kapal selam itu kemudian dijuluki ‘Hiroshima’.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari