Intisari - Online.com -Dalam langkahnya yang selalu percaya diri, Presiden Indonesia Joko Widodo atau Jokowi, sesumbar kepada negara-negara pemimpin G20 dalam pertemuan terbaru di Roma.
Jokowi sesumbar ekonomi Indonesia tetap selamat menghadapi Covid-19, atas bantuan 65 juta usaha kecil, mikro dan menengah (UMKM).
Menghasilkan 61 persen output ekonomi Indonesia tahun 2020 kemarin, Jokowi mengatakan kepada para hadirin jika hampir dua pertiga UMKM tersebut dijalankan oleh para wanita.
Kini, Jokowi memiliki rencana memperkuat mereka melalui akses lebih besar ke bantuan finansial dan pinjaman bisnis.
Baca Juga: Bahas Keberlanjutan Program Bansos dalam FMB 9, KPCPEN Beri Harapan bagi Pelaku UMKM
Mengutip Lowy Institute, paparan Jokowi yang menunjukkan sedikit tentang mikorekonomi dan janji penguatan perempuan, ternyata ditujukan untuk membuat citra baik bagi Indonesia di forum internasional.
Namun jika diperhatikan lebih dekat apakah penggambaran ini sesuai dengan penggambaran UMKM Indonesia?
Artikel yang ditulis Johannes Nugroho di Lowy Institute itu mengklaim jika UMKM membentuk tulang punggung untuk ekonomi Indonesia, dan hal ini adalah fakta.
Sensus 2016 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menemukan jika 99% dari pebisnis di Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai UMKM.
Tambahan lagi lebih dari 60% dari buruh Indonesia membuat penghasilan dari sektor informal di mana sebagian besar UMKM beroperasi.
Di Malaysia, kebanyakan pebisnis juga termasuk UMKM tetapi dengan satu perbedaan: sektor informal Malaysia secara signifikan lebih kecil hanya sebesar 9% saja menurut angka tahun 2019.
Vietnam, salah satu raksasa ekonomi Asia Tenggara, juga memiliki presentase UMKM yang besar, tapi sektor informalnya hanya sebesar 15 - 27 persen, lebih rendah dari Indonesia.
Angka sektor informal Indonesia ini menjadi yang paling besar di antara negara-negara G20.
Baca Juga: Satu-Satunya di Indonesia Cover Mobil Anti Ditabrak, StarProtection Membuat Inovasi Brilian
India dulunya memiliki ekonomi informal yang besar, sebesar 93% tahun 2014, tapi angka ini turun kurang dari seperlima ekonomi negara tersebut.
Ada pandangan bahwa ekonomi informal Indonesia yang besar membuat Indonesia tahan banting terhadap krisis global.
Namun sektor informal punya kekurangannya.
Pertama, pebisnis informal tidak dianggap dekat dengan bank dan mudah meminjam dari bank, serta biasanya kurang bisa menerima bantuan pemerintah.
Laporan tahun 2016 oleh International Finance Corporation yang meneliti UMKM milik para wanita di Indonesia mencatat hanya 24% dari UMKM Indonesia menerima jasa bantuan pemerintah, dan lebih banyak dari separuh pebisnis disurvei memilih untuk tetap berada di sektor informal.
Hampir sepertiga dari mereka mengklaim jika proses registrasi terlalu sulit, sementara sembilan persen lainnya mengatakan proses bantuan pemerintah terlalu mahal.
Secara naluriah tentu saja kepentingan Indonesia adalah mendorong lebih banyak UMKM untuk menjadi usaha sektor formal, sehingga bisa mendapat lebih banyak bantuan finansial dan menjadi badan yang bisa dikenai pajak.
Namun ketidakpercayaan mendalam terhadap agen pemerintah menjadi masalah utama.
Baca Juga: Program PEN Telah Disalurkan Kepada 120 hingga 140 Juta Jiwa
Dua minggu sebelum Jokowi berpidato, media sosial Indonesia digegerkan dengan klaim jika polisi menarget usaha frozen food online karena kemungkinan melakukan pelanggaran terhadap peraturan keamanan pangan.
Berawal dari postingan di Instagram oleh sebuah restoran di Jakarta yang pemiliknya ditangkap polisi karena menjual makanan beku siap saji selama masa pembatasan sosial berskala besar (PPKM).
Polisi telah mengklaim bahwa restoran tersebut tidak memiliki izin resmi untuk menjual makanan beku dan dapat didenda hingga Rp 4 miliar di bawah hukum pidana.
Postingan Instagram itu menjadi viral dan menuai kesaksian serupa oleh pemilik usaha mikro dan kecil di industri rumah tangga berbasis makanan.
Beberapa diberitahu bahwa rumah mereka digerebek oleh pejabat pemerintah dan diancam akan dituntut kecuali mereka setuju untuk membayar pihak berwenang.
Berita itu wajar jika membuat kesal karena e-commerce telah menjadi nadi penyelamat ekonomi Indonesia selama pandemi Covid-19.
Menurut salah satu survei, jumlah warga Indonesia belanja kebutuhan sehari-hari secara online meloncat dari 75 juta ke 85 juta selama pandemi.
Namun jumlah sebenarnya jauh lebih besar lagi karena survei hanya dilaksanakan di toko-toko besar seperti Lazada, Tokopedia, Shopee, yang sudah masuk ke sektor formal negara.
Baca Juga: Bersama OCBC NISP, Ayo Belajar Mengoptimalkan Keuangan Sehat!
Sebagian besar perdagangan e-commerce Indonesia dilakukan secara informal, di platform seperti Marketplace Facebook, Instagram dan WhatsApp, dengan sebagian besar toko menjual produk mereka dari rumah atau bertindak sebagai re-seller.
Sebagian besar re-seller adalah penjual musiman atau dadakan mencoba menambah penghasilan dan tidak membayar pajak dari jualan mereka.
Namun sejak pemerintah tidak punya kewajiban menyediakan keamanan sosial untuk para pelaku sektor informal, pemerintah senang-senang saja dengan status tidak membayar pajak para pelaku sektor informal ini.
Namun hasilnya adalah kasus yang barusan geger di media sosial itu, dan kemarahan netizen atas polisi yang memburu penjual makanan online yang mencari penghasilan tanpa arahan pemerintah akhirnya malah membuat malu pemerintah sendiri.
Baca Juga: Ingin Alis yang Lebih Menawan? Percayakan kepada Nina Chen Sulam Alis
BPOM mengisukan sebuah pernyataan yang menjelaskan undang-undang dan aturan yang mengatur penjualan produk frozen food.
Pernyataan tampaknya membebaskan tindakan salah restoran Jakarta karena produknya jatuh di bawah kategori "makanan siap saji yang disiapkan sesuai permintaan konsumen," alih-alih diproduksi secara massal.
Namun hal ini masih belum memenuhi janji pemerintah untuk lebih mensejahterakan UMKM.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini