Intisari-Online.com – Pernah mengabdi pada Kerajaan Demak, inilah Jaka Tingkir, yang namanya bak legenda dalam kisah-kisah Wayang Orang.
Jaka Tingkir, atau orang Jawa menyebutnya sebagai Joko Tingkir, merupakan pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Pajang, yang memerintah tahun 1549-1582.
Jaka Tingkir memerintah dengan gelar Sultan Hadiwijaya, dia berhasil mengantarkan kerajaan Pajang menuju puncak kejayaannya.
Jaka Tingkir memiliki nama asli Mas Karébét, yang lahir pada tanggal 18 Jumadilakhir tahun Dal mangsa VIII, menjelang subuh.
Dia adalah cucu dari Andayaningrat, penguasa kerajaan kuno Boyolali.
Andayaningrat, yang memakai nama Jaka Sanagara atau Jaka Bodo, konon masih memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga raja Majapahit.
Jaka Tingkir ketika lahir dinamai ‘Mas Karébét’, karena ketika dilahirkan, ayahnya Ki Kebo Kenanga dari Pengging, Ki Ageng Pengging, sedang menggelar pertunjukan wayang beber, dengan dalang Ki Ageng Tingkir.
Suara wayang yang ‘kemerebet’ tertiup angin membuat bayi itu diberi nama ‘Mas Karébét’.
Sang dalang, Ki Ageng Tingkir, merupakan murid Syekh Siti Jenar, sepulang dari mendalang jatuh sakit dan meninggal dunia.
Sepuluh tahun kemudian ayah Jaka Tingkir, Ki Ageng Pengging, dihukum mati oleh Sunan Kudus karena dituduh memberontak terhadap Kerajaan Demak.
Nyi Ageng Pengging, ibu Jaka Tingkir, yang meninggal karena sakit, membuat Mas Karébét, akhirnya diangkat anak oleh Nyi Ageng Tingkir, janda Ki Ageng Tingkir.
Sejak itulah, Mas Karébét, lebih dikenal dengan nama ‘Jaka Tingkir’.
Tumbuh sebagai pemuda yang tangguh, tampan, dan dijuluki ‘Jaka Tingkir’, ini karena Mas Karébét gemar bertapa, berlatih bela diri dan kesaktian.
Guru pertamanya adalah Sunan Kalijaga, kemudian dia juga berguru pada Ki Ageng Sela, lalu dipersaudarakan dengan ketiga cucu Ki Ageng Sela yaitu, Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi.
Sayangnya, Jaka Tingkir alias Mas Karébét ini juga sedikit ‘nakal’ alias mata keranjang.
Jaka Tingkir kemudian berguru pada Ki Ageng Banyubiru atau Ki Kebo Kanigoro, yang adalah kakak mendiang ayahnya.
Dalam Babad Tanah Jawi, kemudian dikisahkan bahwa Jaka Tingkir mengabdi ke ibu kota Demak.
Juga dikisahkan dalam perjalanan menuju ke Kerajaan Demak, alat transportasi yang dipergunakan adalah getek (rakit bambu) melalui sungai.
Di Kedung Srengenge (kedung adalah bagian sungai yang dalam) Jaka Tingkir diserang oleh segerombolan buaya.
Jaka Tingkir, karena jagoan, berhasil mengalahkan buaya-buaya tersebut dan melanjutkan perjalanan ke Demak dengan dikawal oleh buaya-buaya di sebelah kiri, kanan depan, dan belakang, sebanyak masing-masing 40 ekor.
Sesampainya di Demak, Jaka Tingkir berhasil menarik simpati raja Demak, Sultan Trenggana, sehingga dia diangkat menjadi kepala prajurit Demak berpangkat lurah wiratamtama.
Meskipun tidak diceritakan secara jelas dalam Babad Tanah Jawi, namun prestasi Jaka Tingkir sangat cemerlang, hingga kemudian dia diangkat sebagai Adipati Pajang bergelar Adipati Adiwijaya.
Jaka Tingkir juga menikahi Ratu Mas Cempaka, putri Sultan Trenggana.
Sepeninggal Sultan Trenggana tahun 1546, seharusnya puteranya yang bergelar Sunan Prawoto naik takhta, namun dibunuh oleh Arya Penangsang (sepupunya di Jipang) tahun 1549.
Arya Penangsang juga mengirim utusan untuk membunuh Adiwijaya di Pajang, tetapi gagal.
Adiwijaya justru menjamu mereka dengan baik, serta memberi hadiah untuk mempermalukan Arya Penangsang.
Ratu Kalinyamat, yang merupakan adik Sunan Prawoto, kemudian mendesak Adiwijaya untuk menumpas Arya Penangsang.
Adiwijaya pun mengadakan sayembara, yaitu akan memberikan hadiah tanah Pati dan mentaok/Mataram sebagai hadiah, bila dapat membunuh Arya Penangsang.
Kedua cucu Ki Ageng Sela, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi, mengikuti sayembara tersebut.
Akhirnya, Sutawijaya, anak Ki Ageng Pemanahan, dapat menewaskan Arya Penangsang, setelah menusukkna Tombak Kyai Plered ketika Arya Penangsang menyeberang Bengawan Sore dengan mengendarai Kuda Jantan Gagak Rimang.
Pusat Kerajaan kemudian dipindah ke Pajang dengan Adiwijaya sebagai raja pertama Kerajaan Pajang pada 1568 dengan gelar Sultan Hadiwijaya.
Sultan Hadiwijaya berhasil mengantarkan Pajang ke puncak kejayaan, dengan letaknya yang di pedalaman, sehingga kerajaan ini bersifat agraris dan mengandalkan pertanian sebagai tulang punggung perekonomian.
Demak kemudian dijadikan Kadipaten dengan anak Sunan Prawoto yang menjadi Adipatinya.
Wilayah kekuasaan Kerajaan Pajang di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijaya, mencapai Madiun, Blora, dan Kediri.
Berkuasa selama kurang lebih 15 tahun, dan menjadi salah satu raja yang berpengaruh di Jawa, perjalanan kekuasannya harus terhenti pada tahun 1582.
Tahun 1582 itu meletus perang antara Kerajaan Pajang dan Kerajaan Mataram Islam.
Sepulangnya dari pertempuran antara Pajang dan Mataram, Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dan meninggal dunia.
Dia kemudian dimakamkan di Desa Butuh, kampung halaman ibunya.
Kerajaan Pajang mengalami kemunduran sepeninggal Sultan Hadiwijaya, karena terjadi perebutan takhta untuk menjadi raja, antara Pangeran Benawa, putranya, dengan menantunya, Arya Pangiri.
Pangeran Benawa sang ‘putra mahkota’ berhasil disingkirkan, kemudian menjadi bupati Jipang, sedangkan Arya Pangiri menjadi raja baru di Pajang dengan nama takhta Ngawantipura.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari