Penulis
Intisari-Online.com - Gajah Mada adalah sosok mahapatih paling berpengaruh dalam perjalanan panjang Kerajaan Majapahit menuju puncak kejayaaannya.
Ia dikenal sebagai sosok patih perkasa yang setia kepada pemangku takhta Majapahit untuk terus menjaga keutuhan dan melebarkan pengaruh kerajaan.
Salah satu peranan Patih Gajah Mada pada masa kejayaan Majapahit adalah menyatukan wilayah nusantara seperti yang diucapkannya dalam Sumpah Palapa.
Jasa-jasanya pun masih diagungkan oleh masyarakat Indonesia di masa sekarang.
Bangsa Indonesia telah menganggap Patih Gajah Mada sebagai pahlawan, simbol patriotisme dan persatuan nasional.
Meski terbilang cukup misterius, kisah hidup, perjalanan karier, dan perjuangannya didapatkan dari beberapa sumber, terutama dari Babad Gajah Mada, Naskah Usana Jawa, juga Babad Arung Bondan.
Seperti apa kehidupan dan asal-usul Gajah Mada berdasarkan naskah-naskah tersebut?
1. Naskah Usana Jawa
Menurut naskah ini, Gajah Mada dilahirkan di Pulau Bali.
Dikisahkan bahwa Gajah Mada lahir dengan cara memancar dari buah kelapa sebagai penjelmaan dari Sang Hyang Narayana (Visnu) sehingga Gajah Mada dipercaya lahir tanpa ayah dan ibu, namun ia lahir Karena kehendak dewa-dewi (Yamin 1977:13).
Naskah tradisional nusantara sering menegaskan legitimasi tentang kelebihan pada diri seseorang melalui mitos, sehingga tokoh yang dimaksud memang pantas dijunjung tinggi dan dihormati.
Sang tokoh biasanya digambarkan sebagai anak seorang dewa atau bahkan penjelmaan dewa sendiri yang diturunkan ke dunia secara tidak lazim.
Keajaiban demi keajaiban adi kodrati selalu mengiringi sejak hari kelahiran, masa kanak-kanak, dewasa, bahkan hingga hari kematiannya.
Penggambaran seperti ini umum berlaku pada sistim kepercayaan masyarakat Hindu/Buddha pada masa itu sehingga tafsir atau rasionalisasinya diperlukan agar isi naskah dapat dijadikan rujukan.
2. Babad Arung Bondan
Kitab Jawa Pertengahan Babad Arung Bondhan menawarkan penjelasan berbeda mengenai asal-usul Gajah Mada.
Dalam kita tersebut dikisahkan bahwa Gajah Mada merupakan anak dari Patih Lugender (dikenal dengan nama Logender dalam cerita Damarwulan dan Menakjingga).
Dalam cerita tersebut dinyatakan bahwa Logender menjadi Patih Ratu Majapahit bernama Ratu Kenya (Kencanawungu).
J.L.A. Brandes pernah mengatakan bahwa kisah Damarwulan dan Menakjingga terjadi dalam masa pemerintahan Ratu Suhita di tahta Majapahit.
Menakjingga yang dimaksud dalam kisah tersebut setara dengan Bhre Wirabhumi, penguasa kedaton timur yang berperang melawan Majapahit.
Sehingga jika tafsiran ini diikuti maka Gajah Mada anak dari Patih Logender baru ada setelah Majapahit melewati masa kejayaannya.
Sedangkan dalam berbagai prasasti dan Kakawin Nagarakertagama sebagai bukti yang otentik disebutkan bahwa Gajah Mada berperan dalam masa awal dan masa kejayaan Majapahit dalam periode kekuasaan Hayam Wuruk.
Hal yang paling menarik dalam kitab Babad Arung Bondan dan dapat dijadikan interpretasi lebih lanjut adalah pernyataan bahwa Gajah Mada merupakan anak dari seorang Mahapatih.
Adapun nama patih yang menjadi ayah Gajah Mada masih belum akurat, sebab dalam kisah-kisah tradisional nama tokoh sering berganti karena diceritakan secara berulang-ulang dalam kurun waktu yang berbeda.
3. Babad Gajah Mada
Merupakan karya sastra Bali di masa selanjutnya.
Diceritakan bahwa ada seorang pendeta muda bernama Mpu Sura Dharma Yogi yang memiliki istri bernama Patni Nari Ratih, istri yang diberikan oleh gurunya Mpu Raga Gunting atau yang dijuluki Mpu Sura Dharma Wiyasa.
Mpu Sura Darma Yogi membuat huma di sebelah selatan Lembah Tulis sedangkan Patni Nari Ratih tetap tinggal di pertamanan, hanya sesekali ia menengok sang suami di huma yang baru dibuat.
Dewa Brahma jatuh cinta kepada Patni Nari Ratih karena parasnya yang cantik.
Hingga suatu ketika Nari Ratih diperkosa oleh Dewa Brahma di gubuk yang sepi.
Peristiwa tersebut Nari Ratih adukan kepada sang suami.
Sehingga akhirnya mereka pergi mengembara selama berbulan-bulan lamanya.
Ketika sang bayi yang ada dalam kadungan sudah waktunya untuk lahir, mereka tiba di desa Mada yang terletak di kaki Gunung Semeru.
Lahirlah sang bayi laki-laki dengan diiringi peristiwa alam yang menandakan bahwa sang bayi kelak akan menjadi tokoh penting.
Bayi laki-laki tersebut diasuh oleh kepala Desa Mada, sedangkan kedua orangtuanya pergi bertapa di puncak Gunung Plambang untuk memohon keselamatan dan kejayaan bagi si bayi.
Dewata mengabulkan permohonan tersebut dengan mengatakan bahwa kelak si bayi akan menjadi orang yang dikenal di seluruh nusantara.
Bertahun-tahun berlalu, Mahapatih Majapahit datang ke desa Mada dan mengajak anak kepala desa bernama Mada yang sekarang beranjak remaja untuk ikut ke Majapahit dan mengabdi kepada raja.
Mahapatih Majapahit kemudian menikahkan Mada dengan putrinya yang bernama Ken Bebed, lalu membantu Mada untuk menggantikan kedudukannya sebagai Mahapatih Amangkubumi Majapahit.
Berkat Mahapatih Amangkubumi Mada, Majapahit berhasil mengembangkan kekuasaannya hingga banyak raja dari luar Pulau Jawa yang tunduk kepada Raja Majapahit (Muljana 1983:175).
Cita-cita Gajah Mada
Saat dilantik menjadi mahapatih, Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal dengan sebutan Sumpah Palapa.
Isi Sumpah Palapa, yaitu:
"Lamun huwus kalah nusantara, ingsun amukti palapa. Lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Baki, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa"
(Selama aku belum menyatukan Nusantara, aku takkan menikmati palapa (kesenangan). Sebelum aku menaklukkan Pulau Gurun, Pyulau Seram, Tanjungpura, Pulau Haru, Pulau Pahang, Dompo, Pulau Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, aku takkan mencicipi palapa).
Ketika sumpah tersebut diucapkan, banyak yang meremehkan dan menertawakan cita-cita Gajah Mada untuk menyatukan nusantara.
(*)