Penulis
Intisari-Online.com -Baik pada masa Raden Wijaya maupun saat Jayanegara menjadi raja Majapahit, terjadi beberapa kali peristiwa pemberontakan yang menguras energi dan konsentrasi.
Dari masa awal berdiri, Kerajaan Majapahit memang dilanda berbagai pemberontakan.
Melansir Kompas.com, pada masa Raden Wijaya (1293 - 1309 Masehi) pemberontakan dilakukan oleh Rangga Lawe dan Lembu Sora.
Kemudian saat Jayanegara memerintah Majapahit (1309 - 1328), terjadi pemberontakan oleh Nambi dan Wiraraja, Kuti serta Tanca.
Jayanegara bahkan akhirnya menghembuskan napas terakhir akibat tikaman Tanca, saat berada di dalam istana.
Setelah Jayanegara meninggal, Majapahit sempat mengalami kekosongan penguasa karena tidak adanya keturunan laki-laki dari Raden Wijaya, maupun dari Jayanegara.
Maka, atas saran Gajah Mada, tampuk kepemimpinan Majapahit diserahkan kepada Tribuwana Tunggadewi yang menjabat sebagai Bhre Kahuripan, serta Rajadewi yang menjabat sebagai Bhre Dana.
Tribuwana Tunggadewi atau Rani Kahuripan dan Rajadewi atau Rani Daha, merupakan anak Raden Wijaya dari permaisuri Gayatri.
Dalam buku Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit, karya Prof. Dr. Slamet Muljana (2005), dituliskan adanya pernikahan yang dijalani oleh Tribuwana Tunggadewi dan Rajadewi pada 1328 masehi.
Tribuwana menikah dengan Sri Kertawardana dari Singasari, putra dari Cakradara.
Sedangkan Rajadewi, menikah dengan Raden Kuda Amerta dari Wengker atau Bhreng Prameswara Ring Pamotan, dengan nama abiseka sri Wijayarajasa.
Menurut Slamet Muljana, Tribuwana Tunggadewi dinobatkan sebagai penguasa Majapahit pada tahun saka 1251 atau tahun masehi 1329.
Dia memimpin Majapahit secara bersama-sama dengan Rajadewi.
"Menurut Nagarakretagama pupuh 49, penobatan rani Kahuripan sebagai rani Majapahit terjadi pada tahun saka 1251, setahun sesudah wafatnya raja Jayanegara," demikian tulis Slamet Muljana.
Pengangkatan Patih Gajah Mada
Di awal tugasnya sebagai pemimpin Kerajaan Majapahit, Tribuwana Tunggadewi bersama Rajadewi didampingi Aria Tadah, sebagai patih amangku bumi.
Jabatan itu adalah yang tertinggi di bawah Raja Majapahit.
Di bawah kepemimpinan Tribuwana Tunggadewi, Majapahit melakukan konsolidasi internal setelah pada masa 2 raja pendahulunya, banyak disibukkan dengan upaya menumpas pemberontakan.
Pada masa Tribuwana pula, gagasan perluasan wilayah Majapahit di luar Jawa diluncurkan.
Gajah Mada diangkat sebagai patih amangku bhumi, menggantikan Aria Tadah.
Dalam buku Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit (2005), Slamet Muljana menceritakan apa yang dilakukan Gajah Mada setelah jabatannya dinaikkan sebagai patih amangku bhumi di Kerajaan Majapahit.
Di hadapan Ratu Majapahit dan para menteri, Gajah Mada menyampaikan sumpah.
Dia tidak akan beristirahat sebelum bisa menyatukan beberapa wilayah nusantara di bawah pemerintahan kerajaan Majapahit.
Sumpah yang disampaikan Gajah Mada menjadi program politik yang terus diperjuangkan olehnya.
Perjuangan Gajah Mada menyatukan wilayah nusantara dimulai saat Majapahit dipimpin Tribuwana Tunggadewi.
Upaya Gajah Mada dilanjutkan saat Hayam Wuruk naik tahta.
Wilayah kekuasaan Majapahit terus meluas, antara lain Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, hingga Indonesia bagian timur, termasuk Nusa Tenggara, Sulawesi, hingga sebagian Maluku.
(*)