Kemiskinan Mendarah Daging di Negara Ini, Uang Dollar Kusut dan Robek Sampai Jadi Rebutan, Ternyata Digunakan Untuk Tujuan Ilegal Ini

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Uang Dollar kusut jadi barang buruan di Zimbabwe
Uang Dollar kusut jadi barang buruan di Zimbabwe

Intisari-online.com - Afrika merupakan negara dengan angka kemiskinan tinggi.

Bahkan beberapa negara terjerat Hiperinflasi sehingga harus memberi barang dengan nominal uang tak masuk akal.

Karena tingginya nominal mata uang, beberapa negara memilih menggunakan mata uang dollar AS sebagai alat transaksi.

Misalnya di Zimbabwe, di mana mata uang dollar compang-camping bak harta berharga bagi mereka.

Baca Juga: Hartanya Tembus Rp81 Triliun, Milyader Ini Malah Nyaris Bakar Habis Kekayaannya Untuk Diberikan ke Orang Miskin, Alasannya Membuat Semua Orang Terenyuh Mendengarnya

Di pasar gubuk di Harane, ibu kota Zimbabwe,Kaitano Kasani mencoba meyakinkan penjual untuk menjual dolar AS sobek.

"Jual aku semua dolar itu.Tarif sangat bagus hari ini.Tidak ada orang yang menawarkan penawaran sebaik saya di kota ini," kata Kaitano Kasani, 42, seorang pedagang kaki lima dan pedagang dolar AS di Harane, membujuk seorang wanita.

Di Zimbabwe, negara dengan ekonomi paling inflasioner di dunia, mata uang yang dicetak pemerintah telah mengalami devaluasi parah.

Oleh karena itu, orang-orang Zimbabwe beralih ke barter atau hanya menggunakan dolar AS untuk dibelanjakan, meskipun itu dolar yang compang-camping.

Baca Juga: Gara-gara Pedagang dari China, Majapahit Sampai Keluarkan Uang Gobog untuk Alat Tukar dan Pembayaran Pajak, Ini Keunikan Uang Era Majapahit Itu

"Saya cukup beruntung hari ini.Saya membeli uang kertas 20 dollar AS yang sobek seharga 15 dollar AS yang lebih baru," kata Kasani.

Mulai tahun 2008, Zimbabwe jatuh ke dalam hiperinflasi dan ekonomi negara itu belum pulih.

Uang kertas Zimbabwe dulunya memiliki denominasi tertinggi 100 miliar.

Namun, hampir tidak dapat membeli sepotong roti karena orang kehilangan kepercayaan pada ekonomi negara yang rapuh.

Kekurangan cadangan mata uang asing dan hiperinflasi yang parah memaksa pemerintah Zimbabwe untuk memaksa bank-banknya untuk tidak menolak mengkonsumsi dolar AS yang sobek.

"Uang dolar AS yang sobek bahkan lebih disukai oleh pedagang uang daripada yang baru," kata Kasani.

Baca Juga: Bak Dua Sisi Mata Uang yang Tak Terpisahkan dengan Mahapatih Gajah Mada, Inilah Mpu Nala, Sosok Tangguh di Balik Kejayaan Angkatan Laut Majapahit yang Berhasil Satukan Nusantara

"Ketika Anda membawa pecahan dolar AS ke bank, Anda akan menerima uang kertas baru dengan nilai yang sama," jelasnya.

"Tapi di Zimbabwe, itu hanya teori. Kami memiliki cara kami sendiri untuk mendapatkan uang baru. Kami membeli dolar AS yang sobek dengan harga sekitar 1/2 nilai sebenarnya. Yang kami butuhkan hanyalah nomor seri dan cetakan pada uang itu masih relatif jelas," kata Kasani.

Pekerjaan membeli sobekan dolar AS membantu Kasani menghidupi keluarganya dengan empat anak setelah ia menjadi pengangguran dua tahun lalu.

"Saya adalah salah satu orang pertama yang bekerja sebagai kolektor pecahan dolar AS di kota ini. Namun, saat ini saya bersaing dengan beberapa pesaing. Melakukan pekerjaan ini harus cepat dan bergengsi," kata Kasani.

Pada tahun 2019, pemerintah Zimbabwe berusaha membawa dolar Zimbabwe kembali ke pasar tetapi gagal. Saat itu, transaksi orang dalam dolar AS juga dilarang.

Namun, saat ini, dolar Zimbabwe hampir sepenuhnya dihilangkan oleh pasar negara itu karena hiperinflasi yang berkepanjangan.

Baca Juga: 'Bagaimana Orang Makan Jika Uang Minyak Sudah Habis?', Pertanyaan Pelik Rakyat Timor Leste Menjelang Mengeringnya Ladang Minyak, Seperti Apa Masa Depan Mereka?

Pada awal tahun 2020, pemerintah Zimbabwe terpaksa mengizinkan orang untuk membelanjakan dolar AS alih-alih uang yang dicetak di negara itu.

Dalam konteks dolar Zimbabwe terancam mati akibat hiperinflasi, banyak ekonom dan pedagang di negara ini meminta pemerintah menerima dolar AS sebagai satu-satunya saluran pembayaran.

Namun, Menteri Keuangan Zimbabwe, Mthuli Ncube, menolak kemungkinan ini.

“Kami tidak bisa menggunakan mata uang negara lain sebagai mata uang resmi. Dengan demikian, ekonomi Zimbabwe akan menjadi sepenuhnya tergantung pada negara asing. Ini seperti bunuh diri," kata Ncube.

Menurut Otoritas Statistik Zimbabwe, tingkat inflasi negara itu telah turun dari 840% pada Juli tahun lalu menjadi 50% pada Agustus tahun ini.

Namun, pada bulan Oktober, indeks inflasi di Zimbabwe meningkat menjadi 54% dan diperkirakan akan terus meningkat ketika perekonomian dunia menghadapi banyak kesulitan akibat wabah Covid-19.

Artikel Terkait