Kisah Cinta Terakhir Soekarno, Heldy yang Berawal dari Menjadi Anggota Barisan Bhineka Tunggal Ika hingga Dipinang Bung Karno, 'Allah Sudah Mempertemukan Kita'

Tatik Ariyani

Editor

Heldy, Cinta Terakhir Bung Karno
Heldy, Cinta Terakhir Bung Karno

Intisari-Online.com -Dalam buku biografi berjudul Heldy, Cinta Terakhir Bung Karno oleh Ully Hermono dan Peter Kasenda, Penerbit Buku Kompas, 2011 dikisahkan bagaimana kehidupan awal Heldy hingga ia bertemu dengan Bung Karno.

Heldy lahir sebagai bungsu dari sembilan besaudara anak-anak pasangan H. Djafar yang seorang pemborong terpandang di Tenggarong dan Hj. Hamiah, pada 10 Agustus 1947, yang merasa selalu mendapat curahan perhatian keluarga.

Saat Heldy duduk di bangku SMP, seorang tante (dalam bahasa Kalimantan adalah “mbok”), Mbok Nong, yang dianggap pandai meramal, mengatakan kepada Ibu Heldy, “Wah, anakmu ini kelak jika dewasa akan mendapatkan orang besar. Jadi tolong dijaga baik-baik ya.”

Si bungsu yang cantik dan berkulit putih itu selalu dilindungi dan dimanjakan.

Baca Juga: Sampai Dituduh Khianati Prinsip Politik Bebas Aktif, Inilah Saat Pemerintahan Bung Karno 'Takluk' oleh Kebijakan Barat, Aksi Diam-diam Menlu Ini Pemicunya

Tamat sekolah dasar (waktu itu disebut Sekolah Rakyat), Heldy melanjutkan ke SMP Gunung Pedidi di Jln. Rondong, Demang, Tenggarong.

Menjelang naik ke kelas 3, terjadi proses nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Ayah Heldy yang bekerja di perusahaan Belanda Oost Borneo Maatschapij (OBM) pun berhenti.

Setelah lulus SMP, Heldy yang sudah 16 tahun pun pergi mengikuti jejak kakak-kakaknya ke Jakarta untuk menuntut ilmu. Ia bercita-cita menjadi desainer interior.

Dari Samarinda naik kapal menyusuri sungai menuju Balikpapan, lalu dari Pelabuhan Semayang, Balikpapan, naik kapal laut Naira yang besar.

Baca Juga: Sampai Membuat Sosok yang Menemuinya di Halim Kecewa, Keputusan Presiden Soekarno Ini Dianggap sebagai Titik Balik Penting Peristiwa G30S

Heldy ditemani Milot dan Izhar, iparnya, serta bayi satu bulan anak terkecil Milot, Achmad Rizali Noor.

Berlayar sepanjang malam menuju Surabaya, dan dari sana disambung naik kereta api sehari semalam ke Jakarta.

Di jakarta, Heldy tinggal di rumah Erham, kakaknya, yang saat itu telah berkeluarga dan memiliki tiga anak, di Jln. Ciawi III No. 4 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Dalam suatu acara Yus, salah seorang kaka Heldy, mengajak Heldy yang saat itu sekolah di Sekolah Guru Kepandaian Putri (SGKP), ke kampusnya.

Rupanya kecantikan Heldy menjadi perbincangan di kalangan mahasiswa.

Selain cantik, Heldy juga pernah memenangi lomba mengenakan kebaya. Ia luwes, terbiasa mengenakan busana tradisional Kalimantan. Majalah Pantjawarna menampilkannya pada cover.

Karena jejaring aktivitasnya Yus juga dipercaya pihak protokol Istana Negara untuk menyiapkan barisan Bhinneka Tunggal Ika.

Baca Juga: ParaWanita Wajib Tahu, Ternyata Makanan-makanan Enak yang Sering Tersedia di Meja Makan Orang Indonesia Bisa Menjadi Penyebab Kista,Nyesal Baru Tahu!

Barisan yang diprakarsai oleh Presiden Soekarno itu terdiri atas remaja putra-putri dari pelbagai provinsi.

Mereka bagian dari protokol Istana, selalu berdiri berjajar sebagai pagar ayu dan pagar bagus di setiap acara. Heldy yang saat itu kelas 2 SKKA terpilih mewakili Kalimantan. Demikian juga sepupunya dan keponakan istri Erham.

Suatu hari di tahun 1964, Heldy berdiri berjajar di tangga Istana Merdeka bersama anggota barisan Bhinneka Tunggal Ika.

Ia mengenakan kebaya warna pink dengan kain lereng, berselendang, dan rambutnya disanggul hasil penataan Minot, kakak perempuannya.

Hari itu Presiden akan menyambut tim bulutangkis yang baru merebut Piala Thomas.

Tibalah saatnya Bung Karno muncul dan berjalan menapaki anak tangga, ia berjalan sambil mengamati kiri dan kanan seperti biasanya.

Memandang satu demi satu anggota barisan, tersenyum, dan tepat di depan Heldy, Bung Karno mendekat dan menepuk bahu kirinya.

“Dari mana asal kamu?”

Baca Juga: Mulai Hari Coba RutinKonsumsi Campuran Kunyit dan Madu, Jangan Kaget Jika Tubuh Bakal Langsung Rasakan Efek Menakjubkan Ini

“Dari Kalimantan, Pak,” jawab Heldy kaget dan gemetar.

“Oh, aku kira dari Sunda. Rupanya ada orang Kalimantan cantik.”

Ada rasa bangga, khawatir, deg-degan dalam diri Heldy. Orang yang selama ini hanya bisa dilihat lewat foto dan didengar suaranya lewat radio, menepuk dan menyapanya.

Pertemuan pertama yang penuh ketegangan namun sangat berkesan.

Yus yang melihat dari kejauhan, dihampiri staf protokol Istana. “Lihat, adikmu mendapat perhatian dari Presiden. Baik-baik dijaga,” kata staf itu. Yus tak tahu maksud nasihat itu.

Setelah itu, Heldy sering muncul di Istana. Sebab ia menjadi salah satu anggota Bhinneka Tungga Ika.

Suatu hari, aktivitas Heldy sebagai anggota barisan Bhinneka Tunggal Ika agak menurun karena sakit. Namun ketika suatu penugasan baru mengharuskannya ikut.

Heldy mempersiapkan diri dengan saksama. Ia meminta Minot memasangkan sanggul dengan sempurna. Kain milik sendiri, demikian pula kebaya warna hijau yang sangat pas di badan.

Ketika acara mulai, Heldy tetap mengambil posisi sudut. Tapi Presiden malah memintanya mendekat. Mental Heldy langsung jatuh.

Gadis 18 tahun itu melangkah pelan dengan kaki gemetaran.

“Ke mana saja kau, sudah lama tidak kelihatan?” Rupanya presiden memperhatikan.

“Sakit, Pak,” jawab Heldy dengan suara lirih tercekat.

“Bohong, kau pacaran. Saya lihat kau di Metropole sedang menonton film.”

“Tidak, Pak,” kali ini Heldy berani mengangkat muka. Tapi pertanyaaan bertubi-tubi mengubur kembali nyalinya. Heldy kembali tertunduk.

“Nanti kau lenso sama aku ya. Sini, kau duduk dekat aku,” kata Presiden.

Saat menari lenso pun tiba. Heldy yang untungnya sering diajari kakaknya menari lenso, tahu harus melakukan apa. Tapi berlenso dengan Presiden? Oh, tidak.

Di hadapan banyak tamu penting, juga artis penghibur yang lebih senior seperti Titiek Puspa, Rita Zahara, dan Feti Fatimah, Heldy menyambut uluran tangan Presiden.

Dengan ragu ia memberikan telapak tangan kirinya yang dingin untuk digenggam Bung Karno, sementara ia harus meletakkan tangan kanannya di bahu kiri Bung Karno.

Ia menunduk, membiarkan pinggang kecilnya dipeluk Bung Karno yang terus-menerus menatapnya.

“Siapa namamu?” tanya Bung Karno sambil berbisik.

“Heldy,” jawabnya pelahan.

“Sekolahmu?”

“Kelas dua SKKA.”

“Berapa umurmu?”

“Delapan belas tahun.”

“Hm … cukup.”

“Boleh aku datang ke rumahmu?”

Heldy dihadapkan pada kenyataan seperti sering dicandakan para sepupu.

Kalau Presiden naksir, banyak gadis yang mau. Heldy tersudut pada keadaan tak bisa menolak, ia pun mengalami bukti nyata sesuatu yang dia anggap mustahil: presiden naksir anggota barisan Bhinneka Tunggal Ika.

Sejak acara menari lenso, keadaan langsung berubah bagi Heldy di mana ia sering diamati, juga ada anggota Cakrabirawa, pasukan pengamanan Presiden, yang selalu menjaganya.

Akibatnya, mahasiswa yang naksir Heldy mundur teratur.

Tanggal 12 Mei 1965, Bung Karno berkunjung ke rumah Erham tempat Heldy tinggal.

Sebelumnya sejumlah “orang Istana” datang, di antaranya meminta agar ketika Presiden datang, lampu teras dimatikan.

Presiden datang dengan penampilan yang sangat berbeda. Tanpa peci, celana panjang hitam, kemeja putih lengan pendek yang kancing atasnya terbuka, bahkan mengenakan sandal.

Presiden Republik Indonesia datang ke rumah Erham untuk mengunjungi adik bungsunya dan ini nyata.

Apalagi saat itu H. Djafar juga ada di Jakarta. Maka ayah Heldy yang berusia 65 tahun dan Bung Karno yang berusia 64 tahun pun bertemu.

Setelah saling mengucapkan salam, H. Djafar pun masuk. Heldy menghidangkan teh yang dibuatnya sendiri di dalam cangkir terbaik yang ada di rumah itu.

Bung Karno menyatakan ketertarikannya kepada Heldy, namun Heldy merasa masih terlalu muda.

Heldy meminta agar Bung Karno memilih perempuan lain saja, tapi Bung Karno tidak marah. Ia tersenyum saja dan memberikan sebuah bungkusan kecil yang berisi jam tangan Rolex.

Kemudian Bung Karno mengajak pergi mencari makan malam. Heldy mendampinginya di jok belakang VW Kodok yang dikemudian Darsono dan didampingi ajudan Kolonel Parto.

Dalam perjalanan itulah Bung Karno berbicara lagi tentang ketertarikannya kepada Heldy.

“Dik, kau tahu. Kau tidak pernah mencari aku, aku juga tidak mencari engkau. Tapi Allah sudah mempertemukan kita.”

Bung Karno selalu memanggil Heldy dengan sebutan Dik, dan belakangan ia juga menolak Heldy memanggil Pak dan ingin Heldy memanggilnya Mas.

Setelah kunjungan pertama, kunjungan berikutnya makin sering. Bung Karno sering tiduran di sofa menunggu Heldy, kadang mengajak Johan beradu panco.

Bung Karno selalu memberi uang yang jumlahnya tidak sedikit.

Saat Hj. Hamiah ke Jakarta Bung Karno juga memberi uang. Belakangan Heldy diberi mobil Holden Premier warna biru telur asin. Heldy jadi sering ke Istana .

Orang makin tahu bahwa Heldy adalah kekasih Bung Karno. Keadaan ini membuat dirinya repot.

Ke sekolah selalu dalam pengawalan, pun dengan penampilan dan wangi parfum yang beda dengan teman-teman nya.

Akhirnya Heldy memutuskan untuk bersekolah di rumah. Ia memanggil guru, juga menambahi pelajaran bahasa Belanda dan bahasa Inggris.

Di akhir September 1965, suhu politik memanas. Bung Karno disibukkan oleh urusan politik sehingga Heldy jarang ke Istana.

Bung Karno juga jarang ke Jln. Cibatu. Pada 1 Oktober datang ajudan membawa kabar bahwa Presiden baik-baik saja. Beberapa hari kemudian datang lagi ajudan untuk menjemput Heldy.

Tetap dengan kain dan kebaya, ia naik jip menuju Istana. Di sepanjang jalan banyak tentara bersiaga, suasana tegang.

Sesampai di Istana, Heldy tak mendapati sambutan Bung Karno seperti biasanya. Bung Karno sedang tiduran di kamar. Raut wajahnya terlihat letih.

“Mas agak capek,” kata Bung Karno.

Ia mencium pipi Heldy, Heldy pun menyambut kecupan itu dengan penuh rindu.

Bung Karno banyak bercerita, sementara Heldy tak berani bertanya tentang peristiwa G30S yang didengarnya di radio.

Bulan Mei 1966, sudah hampir setahun Heldy menjadi kekasih Bung Karno. Itu waktu yang cukup bagi Bung Karno untuk meminta kesediaan Heldy menjadi istrinya.

“Yang aku cari bukan wanita yang cantik luarnya saja. Tapi juga dalamnya, dan itu ada dalam dirimu. Kau sungguh menarik bagiku, dan kau juga bisa beribadah dan mengerti baca Al Quran, ini yang aku cari sesungguhnya.”

“Saya tidak bisa menolak lamaran Bapak, hubungan kita sudah telanjur dekat. Saya mau menikah dengan Bapak,” jawab Heldy sambil menatap Bung Karno.

Tanggal pernikahan pun dipilih, 11 Juni 1966 alias lima hari setelah Bung Karno berulangtahun ke-65. (Intisari/SL)

Artikel Terkait