Intisari-Online.com -Perseteruan negara-negara adidaya untuk memantapkan hegemoninya sudah terjadi sejak Indonesia melepaskan diri dari penjajah.
Pelakunya juga tidak jauh berbeda, yaitu antara negara-negara di bawah komando Amerika Serikat dan kelompok negara komunis seperti Rusia (dulu Uni Soviet) dan China.
Sadar bahwa memihak salah satu kubu pada akhirnya hanya akanmenyeret kedalam konflik lebih luas, Indonesia pun memilih politik luar negeri bebas aktif.
Lebih lanjut, Indonesia, bersama 11 negara lain, bahkan sampai ikut memprakarsai konferensi tingkat tinggi (KTT) Non-blok.
Sebuah pernyataan resmi bahwa negara-negara yang berada di dalam gerakan non-blok tidak akan memihak blok barat maupun blok timur.
Namun, seiring waktu, beberapa negaraGNB pun mulai merapat ke salah satu kubu, tidak terkecuali Indonesia.
Tentu Anda tidak asing dengan istilah poros Jakarta-Peking-Pyongyang yang menggambarkan kedekatan Indonesia dengan beberapa negara berpaham komunis, China dan Korea Utara.
Meski tidak serta-merta diartikan bahwa Indonesia memilih paham komunis,Bung Karno memang dikenal sebagai seorang pemimpin yang sangat anti dengan barat.
Untuk sekadar jenis musik, Bung Karno sampai enggan mendengarkan musik barat yang disebutnya sebagai "musik ngak ngik ngok".
Salah satu momen yang paling dikenang, mungkin tidak hanya oleh rakyat Indonesia tapi juga seluruh dunia, adalah ketika Bung Karno mengamuk di Gedung Putih Amerika Serikat.
Tepat di depan wajah para petinggi Negeri Paman Sam, Bung Karno berteriak "Go to hell bith your aid" (persetan dengan bantuanmu).
Jadi Bung Karno memang benar-benar anti barat? Jawabannya bisa jadi. Tapi tidak demikian dengan pemerintahannya.
Prinsip politik bebas aktif pernah "dikhianati" oleh pemerintahan Bung Karno yang kala itu terkenal dengan nama Kabinet Sukiman.
Pemicunya adalah keputusan diam-diam yang dilakukan oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia kala itu, Mr. Ahmad Subardjo.
Menteri yang berasal dari Partai Masyumi tersebut tanpa sepengetahuan sebagian besar rakyat Indonesia, mungkin pula pemerintahan, menandatanganiMutual Security Act (MSA) pada Januari 1952.
Mutual Security Act(MSA) adalah perjanjian keamanan dengan pemerintah Amerika Serikat.
Sebelumnya perjanjian ini mewujud dalam sebuah program yang dikenal denganMarshall Plan.
Melalui Mutual Security Act(MSA), Amerika Serikat yang kala itu dipimpin oleh Presiden Harry S. Truman pun langsung mengucurkan dana sebesar 7,5 miliar dollar AS.
Tentu saja gelontoran dana untuk membantu militer dan ekonomi tersebut tidak cuma-cuma.
Demi membendung komunisme, MSA pun berisi kewajiban negara penerima bantuan untuk memberi sumbangan penuh untuk pertahanan keamananfree world atau dunia bebas.
Tidak jelas apakah aksi diam-diamMr. Ahmad Subardjo kala itu atas persetujuan Bung Karno atau tidak.
Namun yang jelas rakyat Indonesia merasa dikhianati, apalagi setelah pemerintah melalui Bung Karno kerap menggembar-gemborkan prinsip politik bebas aktif.
Pada akhirnya, gejolak di dalam negeri pun tak tertahankan, pada 1952, Kabinet Sukiman, yang berisiMr. Ahmad Subardjo harus bubar.