Intisari-Online.com - Sengketa Laut China Selatan telah menjadi salah satu konflik yang dikhawatirkan memicu perang di antara berbagai negara di dunia.
Ketegangan terus tercipta, terutama di antara China dan negara-negara barat seperti Amerika Serikat dan Inggris.
Selain itu, klaim China atas hampir seluruh Laut China Selatan juga mendapat kecaman dari berbagai negara.
China sendiri merupakan negara adidaya, dengan anggaran pertahanan terbesar kedua, kemudian angkatan laut terbesar di dunia, juga terdepan dalam pengembangan teknologi pengganggu baru.
Semua itu sangat penting bagi negara lain karena dapat berdampak pada keamanan nasional dan internasional. Itulah sebabnya NATO harus menanggapi meningkatnya ancaman yang ditimbulkan China.
Melansir express.co.uk (6/10/2021), Laut Cina Selatan adalah laut marginal yang terletak di Samudra Pasifik Barat.
Laut ini dibatasi di utara oleh pantai Cina Selatan, Semenanjung Indochina di barat, Kepulauan Taiwan dan Filipina barat laut di timur dan Kalimantan, Sumatra timur, dan Kepulauan Bangka Belitung di selatan.
Perairan ini juga sangat penting untuk perkembangan ekonomi dan geostrategis, karena membawa lebih dari $3 triliun setiap tahun dalam perdagangan.
Cadangan minyak dan gas alam yang besar diyakini berada di bawah dasar lautnya, di mana 40 persen dari perdagangan gas alam cair global ditransmisikan melalui Laut Cina Selatan.
Lalu, bagian mana dari Laut China Selatan yang diklaim oleh China? Negara ini mengklaim hampir seluruh tubuh sebagai miliknya.
Dilaporkan express.co.uk, akibat klaim China yang berhadapan dengan beberapa negara lain, timbul sejumlah klaim yang bersaing.
Salah satunya termasuk klaim China atas wilayah Indonesia.
Klaim yang bersaing meliputi:
Berdasarkan Pasal 55 United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), ZEE didefinisikan sebagai wilayah laut di luar laut teritorial.
Di dalam ZEE, negara pantai dapat melaksanakan hak berdaulat dan kekuasaan berdaulat sampai batas tertentu.
China menandatangani dan meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut, sementara AS menandatangani tetapi tidak pernah meratifikasi kesepakatan itu.
Sejumlah negara yang berhadapan dengan China terkait klaim atas Laut China Selatan telah bertindak.
Malaysia mengatakan telah memanggil duta besar China untuk memprotes “kehadiran dan aktivitas” kapal-kapal China di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Kuala Lumpur di Laut China Selatan di lepas pulau Kalimantan.
Kapal-kapal itu disebut beroperasi di lepas pantai negara bagian Sabah dan Sarawak, Malaysia.
Sebuah pernyataan yang dirilis pada Senin malam oleh Kementerian Luar Negeri berbunyi: “Posisi dan tindakan konsisten Malaysia didasarkan pada hukum internasional, dalam membela kedaulatan dan hak berdaulat kami di perairan kami.
“Malaysia juga telah memprotes perambahan sebelumnya oleh kapal asing lainnya di perairan kami.”
Nota protes juga pernah dilayangkan Pemerintah Indonesia atas pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) oleh penjaga pantai China yang mengawal aktivitas illegal fishing nelayannya di perairan Natuna.
Tetapi, bukan pernyataan maaf, Beijing sebaliknya mengklaim kapalnya tidak melanggar hukum internasional dan memiliki hak dan kepentingan di wilayah perairan yang disengketakan itu.
Dasar yang digunakan China mengklaim sebagai pemilik hampir seluruh kawasan Laut China Selatan adalah nine dash line.
Dengan klaim sepihak itu, wilayah perairan China membentang luas sampai ke Provinsi Kepulauan Riau, yang jaraknya ribuan kilometer jauhnya dari daratan utama Tiongkok.
Seiring dengan klaim sepihaknya atas Laut China Selatan, Negeri Tirai Bambu juga terus meningkatkan kekuatan militernya yang dikhawatirkan negara-negara di dunia.
Pada Agustus 2020, China menembakkan rudal "pembunuh kapal induk" ke Laut China Selatann, dan mengklaim langkah itu sebagai peringatan bahwa militernya dapat mengancam kapal-kapal AS.
Selama bertahun-tahun, diplomat China mengklaim kunjungan kapal perang Amerika dapat dilihat sebagai langkah agresif dan memerlukan serangan.
Bentrokan AS-China atas Taiwan dan Laut China Selatan pun telah muncul sebagai salah satu risiko geopolitik terbesar di dunia menurut para pakar pertahanan, terlebih kedua negara memiliki tentara militer besar dan kekuatan senjata nuklir.
(*)