Intisari-Online.com -NamaSoeharto kembali menjadi perbincangan hangat usai Mantan Panglima TNI Jenderal Purnawirawan Gatot Nurmantyo mempertanyakan keberadaan patung presiden keduaIndonesia kedua tersebut.
Gatot menyebut saat ini patungpresiden pertama Indonesia Sukarno ada di mana-mana.
Sementara itu, masih menurut Gatot, patung Soeharto justru tidak ada, bahkan musnah sampai ukuran yang terkecil.
"Di mana-mana patung Bung Karno ada, bahkan nama Soekarno-Hatta jalan ada. Pak Harto mantan presiden, ada jasanya juga, mana ada patung seperti itu? Patung kecil pun musnah. Ini kan satu hal yang sangat ironis," ujat Gatot dalam wawancara yang tayang di channel YouTube Karni Ilyas Clube, Rabu (29/9/2021).
Bagi Gatot, semua presiden harusnya diberi penghormatan yang sama, terlepas dari kesalahan yang pernah mereka lakukan.
Dalam pandangan Gatot, sebaiknya semua presiden Indonesia wajib untuk ditokohkan, bahkan masing-masing harus mendapat julukan kehormatan.
Jika Bung Karnto dijuluki Sang Proklamator dan Suharto disebut Bapak Pembangunan, maka Gatot mengusulkan Megawati dijuluki Presiden Perempuan Pertama sementara Jokowi diberi gelar Bapak Infrastruktur.
"Jokowi presiden infrastruktur, jadi ditokohkan semua pada posisi yang sama sehingga dunia melihat Indonesia," papar Gatot.
Nama presiden Soeharto sendiri, seperti halnya dengan nama Bung Karno dan tokoh-tokoh terlibat atau berada dalam pusaran konflik G30S, memang sering dibicarakan menjelang, saat, atau setelah peringatan peristiwa tragis tersebut.
Namun, nama Soeharto pun pernah "disentil" oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani saat mengungkapkan upayanya menyelamatkan keuangan negara melalui pembukuan aset.
Dilansir TribunWow.com, pernyataan Sri Mulyani pertama kali diketahui melalui akun Instagram @jubir_presidenri, Senin (19/10/2020).
Unggahan tersebut memuat video yang menunjukkan Sri Mulyani sedang menyampaikan kuliah umum di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 25 September 2018.
"Mulainya Republik Indonesia enggak punya neraca," ujar Sri Mulyani dalam video tersebut.
Hal tersebut terjadi karena berbagai aset negara, termasuk yang sangat penting dan bernilai sekali pun, tidak pernah tercata sebagai milik negara.
Pembukuan yang penting untuk membuktikan bahwa aset tersebut merupakan milik negara tidak ada sama sekali.
"Jadi barang milik negara pun tidak diadministrasikan, tidak di-record," tutur Sri Mulyani.
Kondis yang sangat buruk tersebut, menurut Sri Mulyani, terjadi saat masa kepemimpinan presiden Soeharto.
Padahal, Soeharto memimpin Indonesia sejak 12 Maret 1967 hingga 21 Mei 1998, alias lebih dari 30 tahun.
"Kita asal bangun. Waktu Pak Harto 30 tahun bangun banyak sekali, enggak ada pembukuannya (aset negara)," ungkap Sri Mulyani.
"Jadi waktu terjadi krisis kemudian kita punya Undang-undang Keuangan dan Perbendaharaan Negara, kita baru mulai membangun neraca keuangan," terangnya.
Sri Mulyani kemudian memberikan contoh kelalaian dalam mencatat aset negara tersebut pada area Hotel Hilton yang kini bernama Hotel Sultan.
"Karena tidak pernah dibukukan, suatu saat terjadi kerja sama, tiba-tiba swasta sudah punya titel," ungkap mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut.
"Sehingga waktu kita membuat pembukuan, Hotel Hilton itu sudah tidak ada titelnya. Kita hilang," tambah mantan Kepala Bappenas itu.