Intisari-online.com -Ajang olahraga Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo 2020 menjadi perhelatan olahraga yang cukup membuat semangat terpompa di tengah pandemi Covid-19.
Perhelatan yang seharusnya diadakan di tahun 2020 ini diundur setahun karena pandemi Covid-19 yang tidak terprediksi di tahun 2020 lalu.
Kemudian di tahun 2021, pemerintah Jepang memutuskan untuk melaksanakannya.
Pelaksanaan Olimpiade menjadi kesempatan dunia untuk kembali mengunjungi Jepang.
Olimpiade juga pasti diliputi dengan dinyanyikannya lagu kebangsaan masing-masing negara.
Saat satu kompetisi sudah mencapai babak final dan didapatkan pemenangnya, lagu nasional negara pemenang kompetisi tersebut akan dikumandangkan dengan lantang.
Seperti ketika Greysia Polli dan Apriyani Nugroho memenangkan medali emas untuk kompetisi Badminton Ganda Putri.
Lagu Indonesia Raya langsung dikumandangkan dengan lantang, membuat kedua srikandi tersebut menangis tersedu karena haru berhasil membawa pulang medali emas, demikian pula dengan pendukung dan penonton yang ada di Indonesia.
Namun ada satu lagu kebangsaan yang dikumandangkan lebih banyak daripada lagu kebangsaan negara lain.
Tentu saja, kemewahan itu menjadi hak bagi Jepang yang menjadi negara penyelenggara.
Jika lagu kebangsaan Indonesia berjudul 'Indonesia Raya', lagu kebangsaan Jepang berjudul 'Kimigayo'.
Siapa sangka, jika warga Indonesia sangat bersemangat jika mendengar 'Indonesia Raya', penduduk Jepang malah tidak suka mendengarkan 'Kimigayo'.
Dilansir dari kanal YouTube Let's ask Shogo-Your Japanese friend in Kyoto, ternyata lagu nasional Kimigayo menuai banyak kontroversi saat ini.
Banyak guru-guru sekolah yang protes harus menyanyikan lagu itu di sekolah.
Ternyata bagi masyarakat Jepang saat ini, Kimigayo dianggap sebagai bagian dari masa lalu mereka yang kelam.
Lagu itu menjadi simbol era invasi kolonial, karena sebenarnya Jepang tidak memiliki lagu nasional sampai berakhirnya era samurai dan dimulainya era kolonialisme Barat di abad ke-19.
Baca Juga: Catat, Seperti Ini Sejarah BPUPKI dan Alasan Jepang Membentuk BPUPKI
Perubahan ini dikenal dengan nama Restorasi Meiji, yang disebabkan karena kedatangan AS ke Jepang pada 1853 membawa teknologi mutakhir mereka, membuat Jepang keluar dari masa isolasi mereka.
Kalap dengan teknologi membuat Jepang mengalami kekacauan, menciptakan perang saudara yang mengakhiri masa keshogunan (administrasi samurai) dan budaya samurai.
Pemerintahan Meiji mulai mengembangkan Jepang yang mulai disusupi ide-ide Barat, kemudian salah satu klan samurai (klan Satsuma di prefektur Kagoshima) membeli senjata dari Inggris untuk ia pelajari dan ia pakai dengan tujuan mengakhiri era keshogunan yang masih tersisa.
Suatu hari, Inggris mengatakan kepada Satsuma jika Jepang harus memiliki lagu nasional jika mau diterima di dunia internasional dan mendapat pengakuan.
Kapten infantri klan tersebut, Oyama Iwao, mengambil frasa 'kimigayo' dari lagu perayaan di kampung halamannya.
Frasa itu ada di dalam puisi berjudul 'Kokin-wakashu' yang dikumpulkan tahun 905, kumpulan puisi Jepang pertama yang terbit sepanjang sejarah.
Sehingga, lagu kebangsaan Jepang asalnya adalah sebuah puisi yang penulisnya tidak diketahui asal-usulnya, tapi puisi itu diturunkan berabad-abad lamanya.
Menariknya, meskipun lagu Kimigayo sudah ada sejak dimulainya Restorasi Meiji, tapi Kimigayo diperkenalkan sebagai lagu kebangsaan baru sejak 1999.
Kimigayo adalah lagu kebangsaan terpendek dan tertua sedunia, dengan lirik yang artinya kurang lebih:
(Semoga) kekuasaan Yang Mulia(Terus berlanjut hingga) seribu, delapan ribu generasiHingga batu kecil(Berubah) menjadi batu besar(Yang) diselimuti lumut
Sekilas lagu ini bermakna sangat puitis dengan mendoakan kebahagiaan selamanya untuk seseorang.
Namun seseorang yang dimaksud itulah yang membuat banyak warga Jepang menolak lagu kebangsaan itu.
Banyak pihak menganggap lagu Kimigayo digunakan untuk mempromosikan fasisme setelah restorasi Meiji setelah berakhirnya Perang Dunia 2.
Sehingga kebahagiaan seseorang yang dimaksud adalah kebahagiaan bagi kaisar Jepang seorang, dan makna lagunya menjadi pemaksaan bagi warga Jepang untuk memuja kaisar Jepang serta menyetujui serangan Jepang ke negara-negara Asia.
Pemerintah Jepang saat itu ingin segera membangun kekuatan terpusat dan modern untuk bisa membangun masyarakat militer agar bisa setara dengan negara Barat.
Setelah Jepang kalah di Perang Dunia 2, AS melarang Jepang menyanyikan lagu kebangsaan dan mengibarkan bendera mereka, sampai akhirnya larangan dicabut tahun 1958, setelah itu Jepang menggalakkan guru dan murid menyanyikan lagu Kimigayo, membuat para guru menolak keputusan pemerintah Jepang tersebut.
Kimigayo ditolak oleh serikat guru Jepang karena pemaksaan menyanyikan lagu tersebut setiap hari saat akan dimulainya pelajaran dianggap menekan suara dan kebebasan berekspresi murid dan para guru.
Kondisi segera memburuk ketika pemerintah melawan serikat guru Jepang yang menolak menyanyikan lagu Kimigayo, membuat pada tahun 1999 menjadi puncak perseteruan itu dengan seorang kepala sekolah bunuh diri karena muak menjadi penengah antara pemerintah dan serikat guru terkait masalah lagu kebangsaan.
Perlu dicatat, walaupun lagu Kimigayo ditolak oleh warga Jepang, tapi persentase warga yang menolaknya kurang dari 10% dari seluruh warga Jepang menurut survei yang dilakukan pemerintah Jepang.
Kimigayo masih dipakai sebagai lagu kebangsaan mendoakan kebahagiaan bagi 'seseorang' yang tak lain masih merupakan Kaisar Jepang, tapi pemerintah berargumen bahwa jika semua mendoakan yang baik untuk Kaisar Jepang, maka seluruh rakyat akan sejahtera.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini