Intisari-Online.com - Mulai tenang, mendadak konflik Laut China Selatan memanas lagi.
Bahkan kali ini konflik Laut China Selatan seperti 'bom waktu'.
Apa yang terjadi di perairan termahal di dunia tersebut?
Dilansir dariexpress.co.uk pada Kamis (2/9/2021), pada 1 September,China memperkenalkan Undang-Undang Keselamatan Lalu Lintas Maritim.
Undang-undang itu mewajibkan semua kapal asing yang memasuki perairan China untuk membawa izin dan memberi tahu otoritas maritim tentang masuknya mereka.
Kapal asing juga harus melaporkan tanda panggilan dan kargo mereka sebelum memasuki laut teritorial China.
"Jika kapal gagal untuk melaporkan seperti yang dipersyaratkan."
"Administrasi maritim akan menanganinya sesuai dengan undang-undang, peraturan, aturan, dan ketentuan yang relevan."
Administrasi Keselamatan Maritim China mengakui bahwa peraturan baru berlaku untuk setiap kapal asing yang dianggap membahayakan keselamatan lalu lintas maritim China.
Ini termasuk kapal nuklir atau kapal yang membawa zat radioaktif atau berbahaya.
Pakar China mengatakan kepada Global Times, langkah-langkah baru tersebut adalah untuk melindungi keamanan nasional di laut.
Su Tzu-Yun, Direktur Divisi Strategi dan Sumber Daya Pertahanan Taiwan di Institut Pertahanan Nasional dan Penelitian Strategis mengakui Beijing menganggap yurisdiksi maritim China mencakup lebih dari sekadar perairannya sendiri.
Su mengklaim ini juga akan mencakup 12 mil laut laut di sekitar terumbu buatan di Laut Cina Selatan.
Su mengklaim ini memberi Beijing alasan untuk menanggapi latihan navigasi yang dilakukan oleh negara lain.
Beberapa waktu lalu, China mengklaim 90% wilayah Laut China Selatan.
Namun klaimwilayahitu tumpang tindih dengan klaim Brunei, Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Taiwan.
Menurut Taipei Times, peraturan baru China untuk meningkatkan regulasi pada kapal asing menciptakan ketakutan akan "bom waktu" untuk konflik di Laut China Selatan.
Undang-undang baru itu muncul sebulan setelahChina mengecam penjualan senjata senilai 750 juta Dollar AS antara Amerika Serikat (AS) dan Taiwan.
Penjualan senjata AS-Taiwan yang baru mencakup 40 unit artileri self-propelled.
Tapi Kementerian luar negeri China percaya sikap AS itu malah akan menyebabkan kerusakan serius pada hubungan China-AS.