Intisari-online.com -Bandara Hamid Karzai, Kabul, adalah saksi bisu perginya pasukan AS terakhir dari Afghanistan pada 31 Agustus 2021 kemarin.
Kepergian mereka tanpa malu dirayakan Taliban yang bersorak-sorak karena pasukan AS akhirnya pergi dari Afghanistan.
Kejadian penarikan pasukan dari Afghanistan ini layaknya mengulang kembali penarikan pasukan Uni Soviet dari negara tersebut.
Namun tempat terakhir yang mereka injak di Afghanistan bukanlah bandara Kabul, melainkan sebuah jembatan bersejarah ini.
Jembatan itu dinamai cukup aneh: Jembatan Persahabatan, dan mencatat sejarah besar Afghanistan.
Pertengahan Agustus kemarin, jembatan yang digunakan untuk menyeberangi Sungai Amu Danya antara Afghanistan dan Uzbekistan itu menjadi tempat bersejarah lagi.
Bukan pasukan AS, tapi para tentara pro-pemerintah melarikan diri dari negara yang sudah jatuh ke Taliban melewati jembatan tersebut.
Kejadian tersebut terjadi pada 12 Agustus, menjadi cermin kejadian 32 tahun lalu menjelang berakhirnya perang Soviet yang gagal di Afghanistan.
Jembatan tersebut menjadi rute keluar terakhir bagi tentara Soviet yang kalah.
Kemudian bendera merah diberikan kepada kendaraan lapis baja untuk dikibarkan terkena angin musim dingin ketika pasukan Soviet yang pergi melewati jembatan pada 15 Februari 1989 itu.
Hal itu dimaksudkan memberi jalan keluar yang bermartabat bagi tentara negara yang saat itu kuat, setelah 10 tahun menduduki dan kalah di Afghanistan.
Komandan Soviet, Jenderal Boris V. Gromov, berjalan sendirian di belakang kendaraan lapis baja terakhir ketika mereka melaju keluar dari negara tersebut.
Ia kemudian menyatakan Rusia sudah selesai dengan Afghanistan.
"Sudah," ujarnya kepada kru televisi.
"Tidak ada lagi satupun tentara Rusia di belakang punggungku," ujarnya dikutip dari New York Times.
Penarikan Red Army dilakukan secara seremonial.
Kendaraan-kendaraan lapis baja itu melaju pelan melewati sungai yang membeku seakan mereka berparade.
Di sisi Uzbekistan, para wanita menyambut para tentara dengan roti dan garam sesuai tradisi mereka.
Para tentara diberi jam tangan atas jasa mereka, seperti direkam kamera televisi.
Pemerintahan Biden sudah berjanji menghindari kejadian serupa penutupan seremonial bagi tentara AS di Afghanistan.
Namun sudah dipastikan bahwa Biden gagal melakukannya.
Komandan AS, Jenderal Austin S. Miller, diam-diam meninggalkan Afghanistan pada 12 Juli.
Evakuasi AS sebelumnya dipusatkan di Pangkalan Udara Bagram, lokasi yang awalnya dibangun oleh Soviet.
Namun evakuasi AS itu tanpa dilakukan penyerahan pangkalan secara formal kepada pasukan Afghanistan.
Kepergian Soviet tentu saja tidak mencegah perang sipil ketika mereka pergi, atau pencarian jiwa para tentara yang baru pulang dan merindukan perang.
Diberikan apa yang kemudian terjadi, antrian pasukan Jenderal Gromov menjadi sarat bagaimana perang Soviet berakhir.
Presiden yang dilatih Rusia, Mohammad Najibullah, tetap berada di Afghanistan dan berkuasa selama 3 tahun setelah parade Jembatan Persahabatan.
Hal itu jauh lebih baik daripada Presiden Ashraf Ghani, yang melarikan diri dari Afghanistan bahkan sebelum semua pasukan AS pergi.
Pakar Rusia dan Afghanistan dan direktur di Institut Demografi dan Migrasi di Moskow, Yuri V. Krupnov, mengatakan Uni Soviet berhasil mengakarkan solusi lebih dalam daripada AS walaupun AS lebih lama di Afghanistan.
Uni Soviet mendidik hampir 200 ribu insinyur Afghanistan, pejabat militer dan administrator, memberikan pemerintah Najibullah dasar dukungan.
"Anda bisa mengkritik Uni Soviet sebanyak apapun, tapi tujuan mereka adalah membangun negara sementara yang modern, dan menstabilkan perbatasan selatan negara itu," ujarnya.
Uni Soviet juga berhasil membangun bendungan hidroelektrik, terowongan, jalan dan jembatan, termasuk Jembatan Persahabatan.
Pemerintah yang ditinggalkan Soviet juga berhasil memimpin dalam waktu cukup lama, katanya.
Hal ini karena Moskow memberikan senjata berat seperti tank dan artileri, tidak seperti senjata ringan dari AS.
Soviet juga berhasil secara brutal meruntuhkan perdagangan narkoba di negara tersebut, mencegah munculnya kelas koruptor dari polisi dan pejabat.
Meski begitu pemerintahannya gagal juga pada akhirnya.
Pemerintahan Najibullah runtuh tahun 1992 dan 1996, ia ditangkap dan dieksekusi oleh pasukan militan baru di Afghanistan, Taliban.
Jasadnya digantung di kolam publik di Kabul.
Setelah pulang, warga Rusia mengatakan mereka punya sindrom Afghanistan, sama dengan sindrom Vietnam di AS: mereka tidak ingin mengurusi negara itu lagi.