Intisari-Online.com -Kembali berkuasanya Taliban di Afghanistan tak hanya membuat usaha AS untuk 'membangun bangsa' gagal, tapi juga membuat mereka rugi besar.
Selain biaya perang yang sangat besar, yaitu mencapai 124,5 miliar dolar AS (setara Rp1.743,6 triliun), mereka juga harus merelakan senjata-senjata canggih mereka menjadi milik Taliban.
Ya, siapa sangka, senjata-senjata senilai 212 juta dolar AS yang sengaja ditinggalkan untuk memperkuat militer Afghanistan, kini malah menjadi senjata andalan musuh mereka.
Sekitar 2.000 kendaran lapis baja, seperti Humvee hingga kendaraan anti ranjau sudah berpindah tangan.
Begitu juga dengan 700 truk dan kendaraan canggih seperti M1117 Guardians, MaxxPro MRAPs, hingga Oshkosh ATV.
Belum lagi puluhan helikopter Black Hawk dan pesawat serang A-29 Tucano serta drone yang kini diyakini sudah ada dalam genggaman Taliban.
Bagaimana dengan senjata seperti M16, M4, kacamata malam hari? Senjata yang jumlahnya mencapai ratusan ribu tersebut pun kini sudah 'resmi' memperkuat militer Taliban.
Beberapa pakar bahkan sampai menyebut senjata-senjata dan kendaraan-kendaraan tempur AS tersebut bak disiapkan sebagai 'tofi' untuk Taliban jika berhasil menguasai Afghanistan.
Tentu saja pemerintah AS tidak pernah berpikir demikian. Mereka tidak akan sudi membiarkan senjatanya pindah ke tangan musuh.
Seperti yang terjadi saat mereka mengalami kekalahan yang sama menyakitkannya di daratan Asia hampir setengah dekade silam.
Kala itu ASmengalami kekalahan memalukan dalam perang Vietnam.
Tentara Vietnam Selatan yang disokong AS tidak mampu melawan ketangguhan pasukan Vietnam Selatan yang didukung oleh Uni Soviet dan China.
Lama perang ini sama persis dengan lama perang AS melawan Taliban di Afghanistan, yaitu 20 tahun.
Kekalahan, yang juga didorong oleh tekanan politik dan krisis ekonomi pada 1973 tersebut pun pada akhirnya memaksa AS menarik mundur pasukannya.
Tentu saja, masih seperti terjadi di Afghanistan, pemerintah AS tak hanya harus memulangkan para tentaranya, tapi juga warga negaranya yang tinggal di Vietnam serta beberapa warga Vietnam Selatan.
Total, hingga tahun 1976, AS harus mengangkut lebih dari 1,5 juta orang dalam rangka memulangkan mereka ke AS.
Lagi-lagi seperti kisah di Afghanistan, proses pemulangan pasukan dan warga di Vietnamtidak serta-merta berjalan lancar.
Di tengah-tengah proses pemulangan, AS dikejutkan dengan takluknya Saigon oleh Viet Cong (sebutan untuk tentara Vietnam Utara).
Saat peristiwa yang kelak dikenang dengan sebutan Saigon Fall tersebut terjadi, AS masih kelimpungan memindahkan 600 ribu pasukan dan warganya.
Kepanikan luar biasa pun kemudian terjadi yang pada akhirnya memicu AS untuk melakukan proses pemulangan dengan segala cara.
Beragam kendaraan dan pesawat secara acak mereka pilih untuk sebagai alat transportasi, meski hanya sampai Thailand atau Kamboja.
Kapal-kapal perang pun tak luput dari sasaran penyerbuan para warga AS dan Vietnam Selatan yang ingin buru-buru kabur dari serbuan Viet Cong.
Hanya saja, kedatangan mereka terutama dalam sisi jumlah sepertinya benar-benar tak diperhitungkan oleh pemerintah AS.
Geladak kapal yang sebelumnya sudah penuh dengan pesawat, terutama helikopter, pun pada akhirnya menjadi lautan manusia.
Daya tampung kapal tak cukup jika harus menampung pesawat dan manusia secara bersamaan.
Akhirnya, dalam kondisi yang sangat terdesak, militer AS pun memilih untuk mengorbankan pesawat-pesawat canggih mereka.
Terhitung sekitar 45 helikopter Huey senilai 10 juta dolar AS atau setara Rp130 miliar dibuang begitu saja ke laut.
Mengapa dibuang? Sebab pesawat tersebut tak memungkinkan untuk dikendarai karena minimnya bahan bakar.
Sementara jika dibiarkan begitu saja di daratan, itu sama saja dengan memberikannya secara cuma-cuma kepada Viet Cong.
Satu hal yang rasanya luput dalam ingatan AS ketika akan meninggalkan Afghanistan, mengingat kini senjata-senjata mereka yang jauh lebih canggih dan dengan jumlah yang lebih banyak malah jatuh ke tangan Taliban.