Intisari-Online.com - Ratusan anggota perguruan silat Timor Leste yang masuk wilayah Indonesia secara ilegal dideportasi oleh pihak Imigrasi Atambua, Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Deportasi dilakukan secara bertahap, yang terbaru sebanyak 164 orang dipulangkan ke Timor Leste.
Kepala Kantor Imigrasi Atambua KA Halim, pada Sabtu (21/8/2021) mengungkapkan, 164 warga Timor Leste tersebut terdiri dari 159 orang laki-laki dan lima orang perempuan.
Sebelum dideportasi, mereka ditampung dan didata di Kantor Kodim Belu kemudian dikawal langsung menuju Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Motaain.
Baca Juga: Timor Leste Masih Gagal, Inilah Negara Terakhir yang Bergabung dengan ASEAN
"Mereka diangkut menggunakan lima mobil truk milik TNI," kata Halim, dikutip Kompas.com.
Setelah berada di PLBN Motaain, mereka dikumpulkan lagi di ruang terbuka pada gedung Pasar PLBN Motaain.
Di tempat tersebut, dilakukan proses serah terima dari Imigrasi Indonesia ke Imigrasi Timor Leste dan disaksikan TNI, Polisi, BNPP, Bea-cukai serta perwakilan dari Pemda Belu dan perwakilan Timor Leste
Sebelumnya, deportasi pertama dilakukan terhadap 113 orang dilakukan pada Selasa (10/8/2021). Kemudian, deportasi kedua terhadap 252 orang, pada Kamis (19/8/2021).
Baca Juga: Cek Weton Rabu Pon: Memiliki Sifat Lakuning Rembulan, Apa Artinya dan Bagaimana Rezekinya?
Mereka diketahui masuk ke wilayah Indonesia untuk mengikuti acara perguruan silat di Atambua, Kabupaten Belu.
Pemerintah Timor Leste sendiri pada 2013 melarang dilakukannya latihan semua komunitas seni bela diri lokal menyusul kekerasan geng yang mematikan terjadi di negara tersebut.
Melansir news.com.au (23/9/2013), Sedikitnya 12 orang Timor Leste tewas dan lebih dari 200 terluka dalam dua tahun akibat perkelahian antar klub pencak silat, kata Armando Monteiro, kepala detektif Polisi Nasional Timor Leste.
Dua tewas di Indonesia, sementara kematian dan cedera lainnya terjadi di Inggris dan Irlandia.
Dia mengatakan jumlah korban kemungkinan lebih tinggi karena banyak orang takut melaporkan aktivitas geng atau pergi ke rumah sakit untuk perawatan.
"Setiap anggota klub seni bela diri yang melanggar resolusi pemerintah akan diproses secara hukum," kata Monteiro.
"Tidak ada toleransi untuk kegiatan seni bela diri di negara ini," katanya.
Seni bela diri, khususnya pencak silat, memiliki sejarah panjang di Timor Leste.
Di masa lalu, banyak siswanya yang ikut berperang melawan pendudukan militer Indonesia.
Mereka juga menjadi anggota klandestin yang aktif dalam mendukung pejuang gerilya dan beberapa memberikan kontribusi signifikan untuk memenangkan kemerdekaan negara itu pada tahun 2002.
Namun, setelah kemerdekaan Timor Leste, justru siswa seni bela diri terlibat dalam persaingan dan mulai saling membunuh di jalan-jalan seperti yang terjadi pada tahun 2006 selama krisis politik.
Selama masa krisis Timor Leste itu, puluhan orang tewas dan puluhan ribu orang mengungsi di negara setengah pulau kecil itu.
Perdana Menteri Xanana Gusmao mengeluarkan resolusi yang melarang klub-klub populer.
Sementara seni bela diri yang kurang populer, seperti karate, kung fu, taekwondo dan judo, tidak dilarang.
Gusmao mengatakan, dia telah mencoba untuk bekerja dengan kelompok selama bertahun-tahun untuk memungkinkan klub bela diri di Timor Leste terus beroperasi secara damai.
Tetapi, mengatakan tujuan asli dan filosofi seni bela diri telah hilang di Timor Timur.
"Saya tidak punya belas kasihan dan kesabaran lagi," kata Gusmao, yang menambahkan bahwa dia telah mencoba bekerja dengan kelompok-kelompok itu sejak menjadi presiden pertama negara itu pada 2002.
"Saya tidak bisa mentolerir situasi lagi, dan saya tidak bisa mengizinkannya lagi," katanya.
Saat itu, Gusmao mengatakan polisi dan anggota militer telah diperintahkan untuk meninggalkan kelompok seni bela diri atau dipecat.
Beberapa klub secara terbuka menyerahkan seragam mereka kepada polisi di depan pejabat pemerintah, tetapi polisi mengatakan beberapa anggota terus melakukan pelatihan mereka secara diam-diam di malam hari.
Sementara itu, geng jalanan di Timor Leste sering membingkai diri mereka sebagai organisasi seni bela diri atau olahraga.
Hal itu menjadi masalah yang harus dihadapi Dili, ibu kota Timor Letse, dan sejumlah kota lainnya.
Selain itu, mengutip ucanews.com (30/8/2018), meski pemerintah telah mengeluarkan larangan kegiatan komunitas seni bela diri di Timor Leste, namun pada Pilkada 2017 dan 2018, banyak parpol yang justru memanfaatkan kelompok pencak silat untuk mendapatkan suara.
Para menteri atau wakil menteri dari partai politik Khunto (Kmanek Haburas Unidade Nasional Timor Oan), memadati kantor mereka dengan anggota Korka (Kmanek Oan Rai Klaran).
Partai politik PLP (Partai Pembebasan Rakyat) juga melakukan hal yang sama dengan anggota PSHT (Persaudaraan Setia Hati Terate).
Pada saat itu, Pemerintahan Perdana Menteri Timor-Leste Taur Matan Ruak menunjukkan tekadnya untuk mengatasi salah satu masalah abadi Timor Leste berkaitan dengan masalah geng jalanan.
Yaitu pengangguran kaum muda, yang diyakini telah menyebabkan budaya geng jalanan yang mengganggu dan migrasi pekerja yang signifikan ke Eropa, Korea Selatan, Australia, dan tempat lain.
Bagian dari program pemerintah yang disahkan oleh parlemen saat itu, adalah janji untuk menciptakan 60.000 pekerjaan baru bagi kaum muda, sementara pejabat lainnya ada yang menyebut rencana itu sebagai 'tidak realistis'.
(*)