Intisari-Online.com - Pemberian Penghargaan Bintang Jasa Utama untuk Eurico Gutterres, mantan pejuang Timor Timur pro Indonesia, mendapat reaksi penolakan.
Pasalnya, pemberian penghargaan tersebut dinilai menggores kembali luka lama yang dialami para korban pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur.
Presiden Joko Widodo pun didesak agar segera mencabut penghargaan yang baru saja diberikan pada 12 Agustus kemarin itu.
Melansir Pos Kupang, penolakan pemberian penghargaan terhadap Eurico Guterres ini disampaikan Aliansi Masyarakat Sipil, gabungan sejumlah organisasi yang ada di Indonesia dan Timor Leste melalui keterangan tertulisnya, Kamis 12 Agustus 2021, sebagaimana diberitakan sejumlah media.
Organisasi-organisasi yang tergabung dalam aliansi tersebut di antaranya KontraS, Imparsial, ELSAM, AJAR, IKOHI, dan sebagainya.
Sementara perwakilan individu ada Roichatul Aswidah, Miryam Nainggolan, Sri Lestari Wahyuningroem, dan Uchikowati.
Fatia Maulidiyanti, perwakilan Aliansi Masyarakat Sipil, mendesak Presiden Joko Widodo agar mencabut kembali keputusannya memberikan penghargaan Bintang Jasa Utama kepada Eurico Guterres.
Menurut Fatia, pemberian gelar tersebut makin menambah luka bagi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat sekaligus bak mengafirmasi impunitas.
Baca Juga: Perayaan 58 Tahun INTISARI, Wajah Baru Si Penembus Lorong Waktu
Anggota DPR Taufik Basari juga menyayangkan pemberian penghargaan tersebut.
Hal itu diungkpakannya melalui akun Twitter @taufikbasari, Jumat, 13 Agustus 2021.
Ia membenarkan bahwa Eurico Gutterres telah bebas dari segala dakwaan dan status terpidana yang pernah dijalani telah dipulihkan.
Juga oleh Majelis hakim PK, ia dianggap tidak dapat dimintakan pertanggung jawaban, "karena tidak memenuhi kualifikasi seorang atasan sipil yang mempunyai otoritas de jure maupun de facto yang efektif terhadap anggota Pasukan Pejuang Integrasi (PPI) meskipun ia adalah wakil panglimanya," tulisnya.
Tetapi, ia mengungkapkan, proses paralel peristiwa kejahatan kemanusiaan tersebut juga diadili di Dili, Timor Leste melalui The Special Panels for Serious Crimes, yang membuktikan adanya kejahatan.
"Pada proses hybrid court oleh Sepcial Panels for Serius Crimes tersebut telah terbukti adanya kejahatan kemanusiaan di Timor Timur pasca jajak pendapat, dan terdapat pihak-pihak yang harus bertanggungjawab," ujar Taufik Basari.
Untuk kasus tersebut, dibentuk Comissao de Acolhimento Verdade e Reconciliacao de Timor Leste (CAVR) atau Komisi Pengakuan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi di Timor Leste.
Komisi ini menghimpun informasi, data, kesaksian, para penyintas, dan pelaku yang bersedia mengakui peristiwa yang terjadi, kemudian menuangkan dalam laporan akhirnya yang diberi judul Chega! Yang berarti ‘cukup sudah, jangan lagi!’.
Hasilnya, temuan fakta dalam proses pengadilan Dili agar menjadi pembelajaran.
"Peristiwa kejahatan kemanusiaan di Timor Timur tahun 1999 menjadi catatan kelam dalam sejarah dunia, meskipun negara Indonesia tidak mengakuinya.
"PBB dan para ahli HAM menjadikan temuan fakta dalam proses pengadilan di Dilli dan proses pengungkapan kebenaran oleh CAVR sebagai pembelajaran," kata Taufik Basari.
Sosok yang bernama lengkap Eurico Barros Guterres tersebut menjadi tertuduh utama dalam pembantaian di Gereja Liquica pada 1999 lalu.
Ia kemudian dinyatakan bersalah dan dijatuhkan hukuman 10 tahun penjara pada 2002.
Putusan tersebut kemudian dikuatkan hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
Namun, dia baru mulai dipenjarakan pada tahun 2006 setelah gagal dalam upaya banding yang diajukan.
Pada April 2008, Eurico mengajukan peninjauan kembali dan dibebaskan dari segala tuduhan melalui keputusan Mahkamah Agung.
(*)