Intisari-online.com -Sejak Wuhan, China, membuka kembali perbatasan April lalu, provinsi itu dengan sekejap lupa seperti apa hidup dengan Covid-19.
Namun gegap gempita warga tidak berhasil menyulut api perekonomian untuk menyala kembali, sebuah penyakit yang tertinggal di Wuhan.
Jika orang-orang China juga mengalami long Covid berupa gejala parah berbulan-bulan lamanya, Wuhan menjadi provinsi di China yang ekonominya tidak segera pulih setelah lockdown ketat 3 bulan.
Lantas mengapa China berhasil mencatatkan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang positif tahun lalu?
Bahkan, China menjadi ekonomi besar yang berhasil pulih paling cepat dari kendurnya ekonomi akibat Covid-19.
Hal ini ternyata berkaitan dengan penjualan retail secara mikro, seperti dikutip dari SCMP.
Secara mikro ini artinya dilihat secara skala provinsional.
Kini dengan penyebaran sporadis varian Delta di seluruh provinsi China telah membuat China mengalami kesenjangan ekonomi cukup besar.
Hal ini menimbulkan masalah cukup serius.
Pemerintah lokal telah melaksanakan pembatasan lokal yang berdampak pada konsumen dan pebisnis.
Hanya wilayah dengan sistem imun lebih baik akhirnya bisa kuat dan memiliki dasar ekonomi lebih seimbang.
Mereka pulalah yang bisa pulih dari badai ini lebih cepat.
Perbedaan ekonomi tingkat provinsional ini dibuktikan dengan angka pertumbuhan provinsional.
29 dari 31 yuridiksi tingkat provinsi telah mempublikasi angka resmi untuk PDB paruh pertama 2021.
Menggunakan angka rata-rata pertumbuhan ekonomi selama 2 tahun terakhir untuk menghilangkan gangguan virus Corona, PDB nasional naik 5,3% untuk paruh pertama.
Sedangkan penjualan retail meningkat 4,4%.
Penjualan retail ini kunci sebenarnya untuk daya beli konsumen.
Arahan strategi "dualisme sirkulasi" baru Xi Jinping masih belum berhasil menumbuhkan ekonomi China secara merata.
Strategi itu mencari cara mendulang keuntungan besar bagi pasar lokal China.
Sayangnya, konsumsi lokal pulih lebih lambat daripada konsumsi ekspor.
Berdasarkan analisis oleh South China Morning Post, pertumbuhan PDB masing-masing provinsi dengan kuat berhubungan dengan pulihnya penjualan retail.
Enam dari 8 provinsi yang mencatat pertumbuhan apik dalam rata-rata dua tahun pertumbuhan PDB mereka melaporkan pertumbuhan di penjualan retail lebih tinggi atau setara dengan paruh pertama 2019.
Pengecualian adalah Zhejiang, yang ekonominya bisa tetap tumbuh dibantu dengan ekspor yang kuat.
Kemudian juga Tibet dikecualikan karena tidak melaporkan pertumbuhan ekonomi dalam penjualan retail 2 tahun terakhir.
Menariknya, dari 8 provinsi andalan itu, 7 provinsi berada di wilayah China selatan.
Hainan, pulau berukuran 35 ribu kilometer persegi di selatan China yang mendapat status belanja bebas pajak akhir Juni lalu, mencatat rata-rata pertumbuhan PDB tertinggi kedua selama 2 tahun.
PDB tumbuh naik 7%, 0.1 persen di bawah Tibet, berkat 10.7% peningkatan rata-rata konsumsi selama 2 tahun.
Di periode yang sama, ada 5 provinsi dengan pertumbuhan ekonomi paling rendah di China yang melaporkan pertumbuhan negatif di penjualan retail pada paruh pertama dibandingkan paruh pertama 2019.
Provinsi-provinsi tersebut antara lain Hubei yang ditutup ketat karena lockdown Covid-19, provinsi sabuk besi Heilongjiang, Liaoning dan Mongolia Dalam, serta provinsi Hebei di utara.
Penjualan retail di Hubei sudah hampir kembali ke tingkat pra-pandemi.
Hubei sendiri masih merupakan provinsi dengan potensi ekonomi kuat, dan menyusut hanya 0.5% dibandingkan dengan paruh pertama 2019.
Namun tiga provinsi sabuk besi mencatat penurunan penjualan retail lebih dari 30%, dengan Hebei berkontraksi lebih dari 20%.
Pertumbuhan negatif atas konsumsi di Hebei, Heilongjiang dan Liaoning dapat berkaitan dengan parahnya wabah Covid-19 di kuartal pertama 2020 dan dilengkapi dengan lockdown sebagian tempat.
Namun Guangdong, provinsi terkaya China yang juga mengalami ledakan kasus Covid-19 Mei 2020 dan ekonominya tumbuh dengan lambat karena Covid-19 masih memiliki tingkat penjualan retail tinggi dibandingkan dengan tingkat pra-pandemi mereka.
Ternyata kesenjangan pertumbuhan daya beli antara wilayah utara dan selatan ini bukan isu baru di China.
Ekonom China Zhang Zhiwei mengatakan, "tingkat konsumsi di China telah stabil sebelum pandemi dan tidak pernah fluktuatif banyak.
"Walaupun ada perbedaan daya konsumsi regional, semuanya tumbuh positif.
"Walaupun setahun separuh telah dilewati sejak pandemi awalnya menyerang China, beberapa tempat masih belum pulih ke tingkat pra-pandemi dan beberapa masih mengalami pertumbuhan negatif. Ini mengejutkan."
Di balik kesenjangan pertumbuhan konsumsi adalah kesenjangan penyerapan tenaga kerja dan gaji, seperti dikabarkan para analis.
Sejak pandemi menyerang, tingkat pertumbuhan pendapatan keluarga miskin telah lebih rendah dibandingkan rata-rata dan kesenjangan yang makin luas ini menjadi salah satu alasan utama konsumsi yang lemah saat ini, ujar Zhang.
Bursa penyerapan tenaga kerja juga tidak menawarkan banyak hal.
Di kuartal kedua, jumlah pekerjaan tersedia melebihi jumlah pencari kerja di China timur, pusat dan barat.
Namun di wilayah utara seperti Beijing dan Tianjin yang ada malah sebaliknya, sebuah kenyataan mengejutkan bahwa ibukota China memiliki daya serap tenaga kerja yang rendah.