Intisari-online.com -Jauh dari sorotan media, penanganan Covid-19 di Papua kenyataannya jauh lebih buruk dari penanganan di wilayah lainnya.
Provinsi Papua dan Papua Barat kesulitan menahan penyebaran Covid-19 dengan varian Delta berada di tengah-tengah masyarakat.
Mengutip Asia Pacific Report, media Selandia Baru pada 30 Juli 2021 lalu, dalam update terakhir pemerintah Papua melaporkan 33.826 kasus Covid-19, dengan 794 kematian.
Di provinsi Papua Barat, ada 18.027 kasus dan 278 kematian.
Akhir Juli lalu dilaporkan juga oleh juru bicara Dinas Kesehatan Provinsi papua, Silvanus Sumule, bahwa kapasitas RS telah melewati 100%, sementara mereka kehabisan tangki oksigen untuk pasien Covid-19.
Pasien dirawat di koridor atau di luar gedung RS, sebuah pemandangan mengerikan yang juga terjadi di wilayah Indonesia lainnya.
Namun perlu dicatat, sistem kesehatan di Papua jauh lebih lemah daripada di pulau lain, menambahkan ketakutan jika virus bisa membantai komunitas Orang Asli Papua (OAP).
Pemerintah daerah (Pemda) provinsi Papua sudah mempertimbangkan lockdown pada Agustus ini.
Hal itu disampaikan penasihat HAM Dewan Orang Papua, Wensi Fatubun.
"Jadi pemerintah lokal umumkan untuk melakukan lockdown, tapi pemerintah nasional tidak ingin provinsi Papua lockdown, dan lebih memilih pembatasan aktivitas masyarakat."
Dengan Jakarta mengesampingkan masalah pemerintah daerah Papua, masalah beralih pada bagaimana rakyat merespon pembatasan aktivitas masyarakat.
Tetapi kepatuhan terhadap langkah-langkah dasar ini beragam di Papua selama pandemi.
“Kami sangat khawatir dengan Covid-19. Kalau ke pelosok kita tidak tahu, mungkin banyak, banyak orang asli Papua yang akan mati, karena tidak cukup dokter, perawat, dan juga fasilitas kesehatan,” kata Fatubun.
Di seluruh Jayapura, telah terjadi serentetan pemakaman dalam beberapa hari terakhir, sebuah tanda lain dari lonjakan kasus Covid-19, yang bisa jauh lebih tinggi daripada yang ditunjukkan statistik resmi.
'Banyak orang Papua mati'
Untuk mencegah semakin banyaknya kematian, pemerintah pusat fokus pada upaya vaksinasi sebanyak mungkin warga pada Agustus dan bulan berikutnya.
Sejauh ini sekitar 22% dari 208 juta populasi Papua telah menerima dosis pertama vaksinasi, dan sekitar 10% yang sudah mendapatkan vaksinasi dua dosis.
Moderator Dewan Gereja Papua, Reverend Benny Giay mengatakan banya warga Papua Barat tidak mau melaksanakan vaksinasi.
Hal ini rupanya karena vaksinasi dilaksanakan oleh pasukan keamanan Indonesia yang telah membuat warga asli Papua kurang percaya.
"Dalam beberapa bulan terakhir, di beberapa distrik, militer dan polisi yang ditemani tim medis melaksanakan vaksinasi, tapi mereka ditolak orang-orang. Sangat sulit untuk meyakinkan orang-orang," ujarnya.
Mengingat konflik kekerasan yang masih berlangsung antara TNI-Polri dan KKB Papua, serta puluhan tahun pelanggaran HAM dan rasisme atas warga Papua, Reverend Giay mengatakan ketidakpercayaan warga adalah hal yang dapat dipahami.
"Kenyataannya adalah mereka telah lalui krisis dan kekerasan dan pemerintah melibatkan militer dan polisi menjadi bagian dari itu, dan kami tidak menyukainya."
Reverend Giay ingin warganya mendapatkan vaksinasi, dan mendesak warga Papua untuk tidak termakan misinformasi yang dipropagandakan di media sosial.
Ia meminta bantuan dari luar.
"Banyak warga asli Papua mati. Kami telah memanggil komunitas internasional untuk bantuan mereka, mungkin Palang Merah Internasional, mungkin intervensi kemanusiaan untuk meyakinkan warga kami untuk divaksinasi."
Namun proposal ini kemungkinan ditolak oleh pemerintah Indonesia yang telah lama membatasi akses negara lain ke Papua.
Penerapan PPKM juga diterapkan di Papua, dan Jakarta tetap bertekad Papua akan menjadi tuan rumah Pekan Olahraga Nasional (PON) Oktober 2021 yang membawa banyak orang ke Papua nantinya.