Penulis
Intisari-Online.com - Kasus 2 oknum polisi militer Angkatan Udara (AU) injak kepala orang Papua masih terus disorot.
Kasus tersebut berbuntut pada pencopotan Komandan Pangkalan Udara (Danlanud) dan Komandan Satuan Polisi Militer (Dansatpom) Lanud Merauke.
Pada Jumat (30/7/2021) kemarin, digelar serah terima jabatan keduanya.
Panglima Komando Operasi Angkatan Udara (Pangkoopsau) III meminta kondusivitas tetap terjaga karena penanganan kasus kekerasan dilakukan transparan.
Melansir Kompas.tv, dalam pertemuan tertutup di Lanud Silas Papare, Pangkoopsau mendengar masukan dari pemerintah provinsi Papua, tokoh adat, dan tokoh masyarakat.
Sebelumnya, viral di media sosial video dua anggota TNI Angkatan Udara melakukan penganiayaan terhadap seorang warga Merauke, Papua, yang juga penyandang disabilitas.
Peristiwa tersebut terjadi pada Senin (26/7/2021) sekitar pukul 10.00 WIT.
Rupanya, pencopotan Danlanud dan Dansatpom Lanud Merauke dinilai tidak cukup.
Baca Juga: Oknum TNI Masih Suka Main Pukul dan Tendang ke Warga Sipil, ‘Penyakit’ Orde Baru Kambuh?
Hal tersebut seperti yang disampaikanpeneliti KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan), Rivanlee Anandar.
Berkaca dari pengalaman sebelumnya, Rivanlee Anandar, mengatakan pemecatan pejabat TNI saja tak cukup.
Ia berharap persidangan terhadap tersangka kasus penginjakan kepala warga Papua dapat dilakukan seterbuka mungkin dengan menggunakan peradilan umum karena menurutnya mekanisme peradilan militer seringkali tertutup.
"Dorongan kami adalah selesaikan kasus ini ke ranah peradilan umum supaya presedennya muncul bahwa [aparat] tidak bisa semena-mena untuk mengambil langkah kepada masyarakat sipil, dalam hal apa pun, karena ada peraturan yang membatasi gerak mereka kepada warga sipil.
"Hal ini juga menjadi sanksi yang tegas nantinya jika dilaksanakan secara transparan dan akuntabel di dalam rekam jejak penegakan hukum kita," ujar Rivanlee.
Sementara itu, Komnas HAM melihat peristiwa penginjakan kepala itu mirip dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat.
Pada bulan Mei lalu, menjadi sorotan dunia ketika seorang polisi di AS menekan dengan lututnya leher seorang warga kulit hitam bernama George Floyd. Peristiwa ini kemudian memicu gelombang protes Black Lives Matter.
Namun, pihak TNI AU mengatakan dua kasus tersebut "jauh berbeda".
Kepala kantor Komnas HAM perwakilan Papua, Frits Ramandey, menyebut pelaku kekerasan yang terjadi di Merauke perlu diberikan sanksi setimpal.
"Tindakannya sama itu... dia dihentikan dan kepalanya diinjak," katanya.
"Ini sama persis dan ingat simbol sepatu militer itu kan simbol penyiksaan dan itu akan menjadi ingatan dalam masyarakat Papua yang lama dan sulit hilang," ujar Frits.
Sementara menurut Marsma TNI Indan Gilang Buldansyah, kedua kasus tidaklah sama atau jauh berbeda karena yang terjadi di Merauke murni kasus insidental.
"Kasus yang terjadi di Merauke murni kasus insidental yang berujung tindakan kekerasan oleh dua oknum prajurit TNI AU," ujarnya.
Pasalnya, peristiwa tersebut diawali sebagai upaya untuk melewai pertikaian antara warga Merauke dengan penjual bubur.
Menurutnya, niat baik tersebut berujung dengan tidak baik.
"Karena dua oknum anggota kita melakukan tindakan yang berlebihan/tindakan kekerasan saat mengamankan saudara Steven [korban]," katanya.
Sebelumnya, Komnas HAM memastikan akan mengawal kasus kekerasan dua prajurit TNI AU terhadap Steven, warga berkebutuhan khusus tersebut hingga tuntas.
"Kami pasti mengawal karena ini juga atensi dari pimpinan Komnas HAM di Jakarta, jadi kami pasti mengawalnya," ujar Ketua Komnas HAM Papua Frits Ramanday saat dihubungi Kompas.com, Rabu (28/7/2021).
Frits mengatakan, Komnas HAM mempunyai mandat untuk memastikan proses hukum kedua prajurit tersebut benar-benar berjalan.
Ia berharap keputusan terhadap keduanya setimpal dengan tindakannya yang telah melakukan kekerasan dan diskriminatif terhadap warga berkebutuhan khusus.
Sejauh ini, tindakan melanggar hukum yang dilakukan anggota TNI kerap diselesaikan melalui pengadilan militer, yang dalam kasus tertentu, menurut Komnas HAM Papua "putusannya tak mewakili rasa keadilan masyarakat".
(*)