Intisari-Online.com - Kota di Meksiko, Guadalajara, yang dulu dikenal indah dan penuh kehidupan, berubah dengan begitu dramatis setelah apa yang terjadi pada hari kelam di bulan Februari 1985.
Kota itu berubah menjadi mengerikan bagi orang-orang, bahkan hanya untuk keluar rumah.
Mereka akan merasa was-was untuk melakukan perjalanan antar kota.
Itu bukanlah kota yang dipandang begitu indah oleh orang-orang yang merasakan kehidupan sebelum tahun 1985.
Apa yang terjadi di tahun itu adalah tragedi penculikan dan pembunuhan yang dperintahkan oleh tiga pria kepala kartel Guadalajara yang sangat berkuasa saat itu.
Mereka adalah nama-nama yang selamanya identik dengan perdagangan narkoba di Meksiko.
Di antaranya Ernesto "Don Neto" Fonseca, Miguel Angel Felix Gallardo dan Rafael Caro Quintero.
Fonseca ditangkap pada bulan April tahun itu, begitu pula Quintero, yang sempat melarikan diri ke Kosta Rika, menyusul dugaan petunjuk dari seorang tokoh senior di kepolisian Meksiko.
Setelah sempat melarikan diri, Quitero akhirnya ditangkap dalam operasi penyadapan.
Sementara Gallardo mampu menghindari penangkapan hingga tahun 1989.
Bagi banyak analis, pembunuhan yang diperintahkan para kepala kartel narkoba tersebut menandai titik balik penting dalam perang melawan perdagangan narkoba di Meksiko.
Tragedi itu memecah kartel Guadalajara menjadi kelompok-kelompok sempalan, yang menjadi basis organisasi narkoba yang kuat saat ini.
Di antara mereka adalah kartel Sinaloa, yang dipimpin oleh mantan anak didik Felix Gallardo, Joaquin "El Chapo" Guzman.
Kartel tersebut saat ini dianggap sebagai pengedar narkoba paling kuat di dunia.
Selain itu, hal yang mungkin lebih penting lagi adalah bahwa tragedi itu menandai tingkat baru kekejaman kartel yang meresahkan.
Memang siapakah sosok yang mereka bunuh hingga menimbulkan dampak yang begitu besar bagi kehidupan kota yang dulunya indah itu?
Korban dari kebrutalan para kartel narkoba Guadalaraja adalah pria bernama Kiki Camarena.
Ia adalah agen yang bekerja di kantor Administrasi Penegakan Narkoba AS (DEA) Guadalajara saat itu.
Tahun 1985, kota itu menjadi basis operasi bagi sebagian besar penyelundup narkotika utama di Amerika Utara.
Sebagai agen DEA, Camarena yang saat itu berusia 37 tahun, terlibat dalam beberapa pekerjaan penyamaran, yaitu menyamar sebagai pembeli potensial bagi pengedar narkotika.
Diungkapkan oleh James Kuykendall, kepala kantor Administrasi Penegakan Narkoba AS (DEA) Guadalajara pada masa itu, bahwa Camarena adalah agen yang sangat mahir dalam peran itu.
Pekerjaan penyamaran yang dilakukan sebagian besar untuk mencari tahu siapa yang melakukan apa, jenis narkoba apa yang mereka tangani, berapa jumlah, ungkap Kuykendall.
Siapa sangka, itu adalah pekerjaan yang pada akhirnya membuat ia menjadi target pembunuhan para kepala kartel di kota itu.
Pada tanggal 7 Februari 1985, pemilik nama Enrique Camarena itu diringkus ke dalam mobil di jalan di luar kantor DEA di Guadalajara saat dalam perjalanan untuk menemui istrinya untuk makan siang.
Kemudian, dilakukan pencarian besar-besaran untuk menemukan agen DEA itu, dan seorang pilot Meksiko yang digunakan oleh DEA, Alfredo Zavala Avelar, yang juga menghilang pada hari yang sama.
Bahkan saat itu, Pemerintahan Reagan memberikan tekanan besar pada pemerintah Meksiko untuk menemukan orang-orang yang hilang.
Sementara Badan Bea Cukai AS mengambil langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan menutup perbatasan untuk lalu lintas dari Meksiko.
Dengan perdagangan lintas batas berkurang, hubungan bilateral mereka beradanpada titik terendah sepanjang masa.
Belum lagi semua kantor berita utama AS melakukan perjalanan ke Guadalajara untuk meliput penculikan tersebut.
Camarena akhirnya ditemukan 30 hari kemudian setelah pencarian besar-besaran itu, tapi dalam keadaan tak bernyawa, juga dengan pilot DEA.
Mereka ditemukan di negara bagian Michoacan, Meksiko, dibuang di pinggir jalan dan menunjukkan tanda-tanda penyiksaan.
Tragedi pembunuhan satu agen DEA itulah yang menjadi awal mula kekelaman di sebuah kota Meksiko tersebut.
Empat dekade setelah satu agenya dibunuh kartel narkoba di Guadalajara itu, nama DEA kembali disorot belakangan ini.
Badan Penegakan Narkoba AS tersebut diseret dalam peristiwa pembunuhan Presiden Haiti Joevel Moise.
Hal itu karena Pelaku pembunuhan Presiden Haiti mengeklaim dirinya adalah agen dari DEA.
Dalam video yang diambil di dekat lokasi kejadian, menunjukkan pelaku berteriak atas nama DEA.
"Semuanya mundur! Ini operasi DEA! Semuanya jangan maju! Ini sudah operasi DEA!" kata si pembunuh dalam aksen Amerika.
Namun, sumber pemerintahan mengungkapkan, meski salah satu pelaku berbicara bahasa Inggris dengan aksen Amerika, mereka bukan agen DEA.
"Mereka jelas merupakan tentara bayaran," kata sumber tersebut sebagaimana diberitakan New York Post.
Pembunuhan Presiden Haiti sendiri terjadi pada Rabu (7/7/2021) dini hari, setelah sekelompok orang tak dikenal menyerang kediamannya di Port-Au-Prince. Dalam peristiwa tersebut, sang istri, Martine, juga terluka.
(*)