Intisari-Online.com -Marita Lorenz adalah Forest Gump dari Perang Dingin.
Ia adalah kekasih Fidel Castro sekaligus calon pembunuh bayaran yang ditugaskan untuk menghabisi nyawa Sang Comandante.
Ia selalu muncul di tiap-tiap peristiwa penting. Mulai dari pendirian komunis Kuba ke invasi Teluk Babi ke pembunuhan John F. Kennedy.
Mudah ditarik kesimpulan Lorenz adalah sosok perempuan yang tertarik pada marabahaya.
Lorenz, menulis sebuah buku tentang kehidupannya sebagai seorang jasus, sebagai seorang spionase.
Buku itu berjudulMarita: The Spy Who Loved Castrodan diterbitkan oleh Pegasus Books.
Buku ini setidaknya versi keenam dari kisah hidup Lorenz yang panas seperti roller coaster.
Lorenz muda hidup dengan serba dramatis. Dibesarkan di Jerman, ibunya adalah seorang Amerika anti-Nazi dan ayahnya adalah seorang kapten kapal pesiar Jerman.
Pada usia enam tahun ia dibuang ke kamp konsentrasi Bergen-Belsen bersama ibunya.
Dan saat dibebaskan setahun kemudian, ia dirudapaksa oleh seorang tentara Amerika yang tinggal tidak jauh darinya.
Duka yang merundung hidupnya di awal-awal itulah yang, mungkin, membuatnya “kebal” terhadap drama dan bahaya.
Ketika berusia 19 tahun, ia berada di atas kapal ayahnya di Pelabuhan Havana ketika dua kapal mendekat. Kapal itu dipenuhi pria-pria berjenggot menggunakan pakaian militer.
Salah satu dari mereka menarik perhatiannya. “Wajahnya memukau saya,” tulisnya.
Tak lain, sosok menarik perhatian itu adalah Fidel Castro, hanya sebulan sebelum mengambil alih Kuba dari Fulgencio Batista melalui Revolusi 26 Juli yang terkenal itu.
“Saya tidak akan pernah melupakan saat pertama kali melihat tatapannya yang tajam, wajah yang mempesona, senyumnya yang jahat nan menggoda,” tulisnya.
“Saya Dr. Castro,” katanya. “Fidel. Saya Kuba. Saya datang untuk mengunjungi kapal besar Anda.”
Keduanya lalu bertukar pandang, dan beberapa saat kemudian, berpelukan—ini adalah awal dari affair yang akan mengubah jalah hidup Lorenz.
Castro memanggil Lorenz dengan sebutan “Alemanita”—Si Jerman Kecil—dan begitu kembali ke Amerika, Castro mengirim pesawat pribadi untuk menjemputnya.
Lorenz kemudian tinggal di Kuba selama tujuh bulan, di pondokannya di Havana Hilton.
“Ia kekasih yang baik, penolong yang baik,” kenang Lorenz, kepada New York Post. “Ia suka menggenggam tangan dan memeluk erat-erat.”
Tak lama kemudian, Lorenz hamil, dan Castro sangat bahagia. Tapi saat usia kehamilannya menginjak tujuh bulan, sementara Castro dalam perjalanan, ia yakin ada seseorang yang memasukkan obat ke susu yang ia minum.
Dan ketika ia terbangun, bayinya sudah “hilang”, dan ia sendirian di sebuah kamar hotel yang gelap. Ia linglung.
Baca Juga: Ketika AS Ketakutan pada Kuba dan 'Mengorbankan' Warganya Sendiri untuk Memulai Perang
Ia memutuskan kembali ke Amerika dan marah kepada Castro karena kehilangan anaknya.
Ia sendiri tidak tahu apa yang terjadi pada bayinya—entah dilahirkan paksa atau digugurkan.
FBI lalu mengunjunginya, dan memanfaatkan kemarahannya untuk keuntungan mereka. Seorang agen bernama Frank Sturgis, yang ia temui di Kuba (seorangagen spionase yang ditangkap saat ramai-ramai Watergate), merekrutnya untuk ambil bagian dalam sebuah rencana untuk membunuh mantan kekasihnya itu.
Ia dikirim kembali ke Kuba untuk berbaikan dengan Castro. Ia dibekali dua pil khusus yang diklaim bisa membunuh Sang Comandante dalam dua jam.
Tapi sial. Saat Lorenz sampai ke Kuba, Castro tahu kenapa ia kembali.
Dengan cara yang dramatis, Castro mencabut pistolnya dari sarungnya dan memberikan kepadanya, dengan sinis.
“Tidak ada yang bisa membunuhku. Tidak akan pernah,” kata Castro.
Ia benar. Lorenz tidak melakukannya, bahkan membuang kedua pil itu.
Baca Juga: Fidel Castro, Semangat Revolusinya Terus Membara, Meski Beberapa Kali Dikerjai CIA
Lorenz bilang tidak akan pernah lagi merencanakan pembunuhan untuk ayah dari anaknya yang hilang itu.
Mereka kemudian bercinta, Castrocabut, Lorenz kembali ke Amerika Serikat.
Kembali ke Amerika, Lorenz kembali berurusan dengan FBI lagi—dan Sturgis—dan terlibat dengan orang-orang Kuba anti-Castro di Florida.
Lorenz kemudian bekerja sebagai mengirim senjata dan kurir untuk CIA di Everglades—menguji M16 dan tinggal di hotel bersama para pemberontak—dalam persiapan invasi Teluk Babi.
Misi itu dimaksudkan untuk menggulingkan Castro tapi berakhir dengan rasa malu untuk Amerika Serikat.
Alih-alih menggulingkan, gagalnya invasi justru semakin meningkatkan kadar kebencian kelompok anti-Castro kepada John F. Kennedy, yang dianggap telah mengabaikan mereka saat invasi berlangsung.
Setelah kegagalan itu, Lorenz segera dikirim untuk mengumpulkan dana dari seorang “pensiunan jenderal” untuk kepentingan kelompok anti-Castro.
Baca Juga: Guantanamo, Penjara CIA di Kuba yang Penuh Horor dan Bikin Musuh Bebuyutan AS Tak Bisa Berkutik
Ia adalah Marcos Perez Jimenez, salah satu diktator Amerika Tengah yang paling represif pada abad ke-20, yang telah memimpin rezim Venezuela yang brutal, yang sedang tinggal di Miami.
Perez terpikat dengan pesona Lorenz dan mengajaknya untuk sekadar minum anggur.
Perez terus menggoda tapi Lorenz terus menolak, tapi tidak berlangsung lama.
“Berhubungan dengannya tidak istimewa dan tidak enak,” tulis Lorenz. “Tidak bisa dibandingkan dengan Fidel. Marcos bukan pencinta yang baik. Ia egois dan baginya, seks hanyalah sebuah fungsi…”
Meski begitu, Lorenz tetap menjadi kekasih Perez selama dua tahun. Saat ia hamil lagi, ia sangat senang, tapi sebuah proses ekstradisi membuatnya gagal mewujudkan kehidupan keluarga yang bahagia.
Pengacara Marcos membuat Lorenz mengajukan hak asuh kepada Perez dalam upaya membantunya tetap tinggal di Amerika.
Tapi itu menjadi bumerang. Perez diekstradisi. Dan karena Lorenz secara publik menyebut Perez sebagai ayah putrinya, klausul kerahasiaan yang dipertahankan oleh Perez sebelum memberinya dana perwalian senilai 5 juta dolar AS telah dilanggar.
Baca Juga: Ternyata Inilah Asal Mula Kata ‘Che’ yang Melekat pada Sosok Guevara Sang Gerilyawan Kuba
Artinya, Perez tidak akan mendukungnya lagi.
“Ia adalah pengacara yang goblok, seorang bocah kumuh, yang seharusnya saya tembak,” kata Lorenz soal masa lalunya itu.
Ketika Castro meninggal pada 2016 lalu ia meras hidupnya hancur. “Ia adalah cinta (sejati) dalam hidupku. Ia masih ada secara spiritual bagiku. Ia merasuk ke tubuh, bukan di jiwa.”
(*)