Intisari-Online.com - Papua bersama dengan KKB telah mengalami gejolak terus-menerus selama lebih dari 50 tahun, terutama setelah dimasukkan ke Indonesia pada tahun 1969.
Masa operasi Satuan Tugas (Satgas) Nemangkawi di Papua bahkan diperpanjang selama enam bulan.
Perpanjangan ini mulai berlaku pada 1 Juni 2021.
Personel TNI-Polri yang tergabung dalam satgas tersebut masih terus memburu kelompok kriminal bersenjata (KKB Papua).
Sejarah mencatat, paket Otonomi Khusus 2001 dirancang untuk mendukung pemerintahan mandiri Papua yang lebih besar tetapi dalam kerangka negara Indonesia.
Di bawah Otonomi Khusus, pendapatan pajak yang dihasilkan oleh proyek-proyek sumber daya yang sebelumnya masuk ke pemerintah pusat di Jakarta seharusnya dikembalikan ke pemerintah provinsi di Papua Barat.
Undang-undang tersebut juga memungkinkan simbol Papua, seperti bendera Bintang Kejora, yang sebelumnya dikaitkan dengan gerakan kemerdekaan dan dilarang oleh pemerintah, untuk ditampilkan. Mekanisme struktural seperti senat adat (dikenal sebagai MRP – Majelis Rakyat Papua) dilembagakan untuk memfasilitasi ukuran pemerintahan orang Papua sendiri.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir keberhasilan ini telah dirusak, sebagian oleh kurangnya kapasitas dalam layanan sipil.
Kemajuan menuju pemerintahan sendiri dan transisi demokrasi semakin terhambat oleh perpecahan dalam gerakan.
Selain itu juga terjadi korupsi oleh para pemimpin lokal Papua di tingkat kabupaten dan pemerintah provinsi.
Tak hanya itu, budaya impunitas dan pelanggaran hak asasi manusia yang berkelanjutan oleh polisi dan militer Indonesia serta campuran kebijakan yang membingungkan dan kontradiktif yang membuat Jakarta membagi wilayah tersebut menjadi dua wilayah administratif yang terpisah juga terjadi.
Gerakan non-kekerasan untuk penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan terus berlanjut, tetapi persaingan dan faksionalisme di antara organisasi-organisasi perlawanan telah berkurang sehingga tidak berhasil.
Namun, ada tanda-tanda persatuan yang muncul.
Pada bulan Oktober 2010, dua koalisi sebelumnya yang bersaing, Koalisi Nasional Papua Barat untuk Pembebasan (terdiri dari sekitar 20 kelompok perlawanan) dan Konsensus Papua (yang terdiri dari Otoritas Nasional Papua Barat, PDP, dan DAP) membentuk kantor untuk Bangsa Papua (Sekretariat Bangsa Papua atau SeBaPa) untuk memfasilitasi komunikasi dan koordinasi yang lebih baik antara kedua koalisi.
Rekonsiliasi kedua koalisi difasilitasi oleh karya Pastor Neles Tebay, seorang imam Katolik, dan jurnalis yang telah membentuk Jaringan Damai Papua (JDP).
Terlepas dari perbedaan yang tersisa di antara banyak kelompok, mereka tampak bersatu untuk menolak Otonomi Khusus (dikenal di Barat Papua sebagai Otsus).
Untuk itu, DAP menyelenggarakan aksi massa pertama pada tahun 2005, mengerahkan sepuluh ribu orang untuk menyerahkan kembali Otsus, yang dilambangkan dengan peti mati yang dibawa melalui jalan-jalan Jayapura.
Perlawanan sipil oleh orang Papua telah menghasilkan beberapa tawaran terbatas dari pemerintah Indonesia, terutama pembentukan UP4B (Unit Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua Barat) serta pembicaraan tentang 'Komunikasi Konstruktif' antara Jakarta dan Papua.
Tetapi ada sedikit indikasi bahwa Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono memiliki kemauan politik untuk mengejar reformasi demokrasi sejati di Papua Barat.
Meskipun Presiden Yudhuyono berhasil menengahi dialog dengan orang Aceh yang diwakili oleh GAM (Gerakan Aceh Merdeka), dia belum memulai pembicaraan dengan orang Papua Barat.
(*)