Intisari-Online.com - Timor Leste dianggap sebagai hotspot global untuk paus dan lumba-lumba.
Hal itu lantarankelimpahan, keragaman, dan kepadatan jumlahnya.
Mereka dapat terlihat sepanjang tahun dan terutama selama musim migrasi, dari Oktober hingga Desember.
Saat itu perairan dalam Timor Leste menjadi jalur utama antara Samudra Pasifik dan Hindia bagi banyak spesies yang berbeda.
Spesies paus termasuk biru, pembunuh, bungkuk, pilot bersirip pendek, berparuh, berkepala melon, dan pembunuh babi.
Lumba-lumba laut yang sering terlihat termasuk lumba-lumba biasa, berhidung botol, pemintal, tutul, risso, bergigi kasar dan belang.
Bukan hal yang aneh selama migrasi untuk melihat paus dan kawanan lumba-lumba yang sangat besar baik dari dekat pantai maupun dari perahu.
Berhubungan dengan ikan paus, tak jauh dari TImor Leste, tepatnya di Lembata, NTT, Indonesia, memiliki tradisi turun temurun perburuan paus.
Jika di daerah Kanada, Greenland, atau di sekitar kutub selatan ada tradisi berburu anjing laut dan penguin, maka di Indonesia ada tradisi yang lebih ekstrem lagi, yaitu tradisi berburu ikan paus.
Tradisi ini hanya dilakukan oleh penduduk Desa Lamalera di Kabupaten Lembata.
Tradisi ini telah berlangsung lama, sejak nenek moyang suku Lamalera menempati tanah Lomblen.
Berbagai sumber menyebutkan tradisi ini sudah ada sejak abad ke-16.
Sebelum berburu paus di lautan lepas, para nelayan Lamalera berdoa bersama kepada Tuhan agar mereka berhasil dalam perburuan ikan paus.
Dengan doa, ritual adat dan perlengkapan tradisional mereka mengarungi lautan untuk menaklukan "raksasa laut" itu.
Para nelayan tradisional hanya dilengkapi satu-satunya senjata andalan berupa tombak yang dinamakan tempuling.
Senjata tradisional ini berupa sebatang bambu panjang yang di salah satu ujungnya ditancap besi runcing.
Dengan senjata itu mereka berusaha membunuh ikan paus, yang besar tubuhnya puluhan kali lebih besar dari tubuh manusia.
Betapa kekuatan sepotong besi mampu menaklukan ikan jenis ini.
Karena itu tak heran arus kunjungan wisatawan ke sana dari tahun ke tahun terus meningkat.
Tetapi terkadang para nelayan tradisional mengalami naas.
Ikan raksasa yang terluka menyeret perahunya para nelayan hingga perairan Australia atau sampai di Kupang, Ibukota Propinsi NTT.
Ketika ikan itu sudah berhasil ditombaki --dimana ujung tombak yang lain diikat tali yang disambungkan ke perahi-- para nelayan ini mengikuti saja pergerakan ikan sampai melemah. Tak berdaya.
Di saat itu para nelayan menarik ikan ke pantai Lamalera.
Kadang-kadang pula mereka menjadi korban akibat hempasan ekor ikan raksasa itu yang kaget saat ditombaki.
Perahu bisa langsung pecah dengan hanya satu kali tebasan ekor paus.
Maklum, bentangan sirip ekor ikan itu bahkan lebih lebar dari badan perahu tradisional yang digunakan untuk memburu paus.
Tak jarang jatuh korban jiwa.
(*)