Intisari-online.com -Ancaman kelompok teroris KKB Papua kepada masyarakat pendatang atau orang non Papua yang tinggal di Papua kembali mencuat.
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPNB-OPM) memberikan ultimatum kepada rakyat pendatang atau non-Orang Asli Papua (OAP) yang bekerja di Papua.
Ultimatum tersebut segera direspon oleh Kepolisian RI (Polri), Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Rusid Hartono mengingatkan jika tanah di Papua merupakan bagian dari NKRI.
Sehingga ancaman yang digelorakan KKB tidak menyurutkan pemerintah untuk terus membangun Papua.
"Papua adalah NKRI dan itu sudah final. Pembangunan di Papua harus tetap berjalan. TNI-Polri bersama instansi yang lainnya tetap mengawal bagaimana pembangunan daripada Papua tetap berjalan," kata Brigjen Rusdi di Mabes Polri, Jakarta, Senin (7/6/2021) dikutip dari sripoku.com.
Rusid mengatakan pembangunan yang dilakukan pemerintah adalah demi kesejahteraan warga di Papua.
Ia juga meminta KKB Papua tidak mengganggu upaya yang dilakukan pemerintah.
"Sekarang pembangunan di Papua terus berjalan. Ada pihak-pihak teroris KKB ini yang senantiasa mengganggu daripada pembangunan yang dilaksanakan di Papua. Oleh sebab itu pembangunan di Papua harus dan tetap berjalan," ungkap dia.
Polri juga berkomitmen mengamankan tanah Papua dari ancaman kelompok teroris KKB.
"TNI dan Polri akan bekerja secara optimal bagaimana mengamankan daripada Papua itu sendiri. Sehingga pembangunan di Papua dapat berjalan dan tentunya ini akan berdampak terhadap kesejahteraan daripada masyarakat di Papua," tukasnya.
Ancaman berupa tembakan mati jika melihat warga non-Papua bekerja di daerah konflik.
Lantas KKB Papua meminta seluruh non-Papua keluar dari daerah konflik.
Daerah konflik yang dimaksud adalah daerah Puncak, Intan Jaya, dan Nduga.
Jejak masyarakat non-Papua di Bumi Cendrawasih
Papua tidak lagi menjadi milik Orang Asli Papua (OAP) sudah sejak pemerintah kolonial Belanda berkuasa.
Saat itu orang Belanda tidak punya cukup dana menduduki bumi Cendrawasih meski sudah didesak agar segera memperluas wilayah jajahan.
Akhirnya program kolonisasi dilakukan lewat pemindahan penduduk dari Jawa ke Papua.
Sejak saat itu pemindahan suku Jawa ke Papua dimulai, dari sebuah agenda pemanjangan tangan pemerintah kolonial guna mengontrol sebuah wilayah.
Pulau Jawa saat itu sudah padat penduduk karena menjadi pusat pemerintahan kolonial dan menjadi peradaban Nusantara.
Sentimen Orang Asli Papua sebenarnya merujuk pada tanah, yang disebut mereka sebagai mama seperti di banyak lagu populer di Papua.
Tanah adalah sumber kehidupan, dasar budaya dan sayangnya imajinasi kebangsaan dan masa depan orang Papua.
Sebelum Belanda datang tanah menjadi milik orang Papua dengan sistem kepemilikan kolektif seperti suku-suku dan marga-marga, kemudian misionaris Kristen datang dan 'membeli' tanah dari orang Papua lewat barter.
Pemerintah Belanda kemudian mendirikan pos pemerintahan di atas tanah orang Papua kemudian menerapkan hukum agraria 1870 yang berlaku di wilayah jajahan Hindia Belanda.
Setelah menguasai seluruh tanah di Papua dan diklaim sebagai wilayah Belanda, transmigran Eropa dari Belanda dan orang-orang Jawa didatangkan.
Tanah-tanah di Manokwari, Merauke, dan Jayapura dibuka untuk perkebunan-perkebunan kolonial dengan melibatkan investor transnasional.
Keadaan ini berlanjut ketika Indonesia sudah merdeka dan Papua masuk ke Indonesia di tahun 1961.
Sejak pengalihan resmi wilayah Papua dari Belanda ke PBB melalui UNTEA lalu ke Indonesia, semua hukum Indonesia berlaku di Papua termasuk hukum agraria.
Transmigrasi dilaksanakan juga oleh Presiden Soekarno, tidak hanya untuk mengurangi kepadatan penduduk di Jawa dan pulau-pulau lain, tapi juga menjaga klaim wilayah atas Tanah Papua.
Sampai tahun 1993, Bank Dunia melaporkan ada 49.267 keluarga transmigran Indonesia menetap di Tanah Papua.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini