Intisari-Online.com -Masa operasi Satuan Tugas (Satgas) Nemangkawi di Papua diperpanjang selama enam bulan.
Perpanjangan ini mulai berlaku pada 1 Juni 2021.
Personel TNI-Polri yang tergabung dalam satgas tersebut masih terus memburu kelompok kriminal bersenjata (KKB Papua).
Selain kasus dengan KKB Papua, konflik dan kekerasan di Papua dipicu oleh beberapa faktor yang tumpang tindih.
Hal itu termasuk sejarah politik integrasi Papua ke Indonesia, marginalisasi ekonomi orang Papua di provinsi yang kaya sumber daya, dan pelanggaran hak asasi manusia yang serius dan intens.
Keluhan-keluhan yang belum terselesaikan inilah yang memunculkan berbagai kelompok pro-kemerdekaan.
Dilansir dari The Diplomat, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), pada tahun 2009 mengembangkan proposal untuk dialog perdamaian berdasarkan rasa hormat, minat yang tulus, mendengarkan secara aktif, dan pertanyaan praktis , yang akan dilakukan di Papua sebagai salah satu cara untuk memutus siklus kekerasan.
Dialog ini dirancang untuk membangun kepercayaan antara Papua dan Jakarta, yang kemudian dapat digunakan sebagai modalitas untuk mulai menangani keluhan Papua.
Namun usulan tersebut tidak pernah ditanggapi serius oleh pemerintah pusat.
Pemerintah pusat tampaknya “trauma” dengan prospek mempertimbangkan sesuatu yang menyerupai dialog.
Mereka menilai hal itu hanya akan berujung pada usulan rakyat Papua untuk memilih referendum atau bahkan kemerdekaan, sebagaimana dicontohkan oleh pengalaman mantan Presiden BJ Habibie saat bertemu dengan 100 pemimpin Papua di Jakarta pada 26 Februari 1999.
Sejarah Referendum Timor Timur
Pada 19 Oktober 1999, hasil referendum Timor Timur (Timtim) disetujui melalui Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yaitu memutuskan bahwa Timtim bukan lagi wilayah Indonesia.
Signifikansi perubahan Timtim dimulai pada Januari 1999 saat Habibie mengumumkan ‘pilihan kedua’ bagi Timtim untuk memilih antara otonomi daerah atau kemerdekaan.
Habibie meminta Sekjen PBB saat itu, Kofi Anan, untuk menjembatani Indonesia dan Portugal soal Timtim.
Kemudian, dicapai kesepakatan untuk menggunakan jajak pendapat dalam konsultansi dengan masyarakat Timtim.
Keputusan ini kemudian diatur dalam Ketetapan Nomor V/MPR/1999, yang menyatakan bahwa Ketetapan Nomor VI/MPR/1978 tentang Pengukuhan Penyatuan Wilayah Timor Timur ke dalam NKRI tidak berlaku lagi.
Kemudian, Xanana Gusmao pun dibebaskan setelah tujuh tahun menjadi tahanan politik di Jakarta.
Ia kembali ke Dili sebagai pemimpin dari Conselho Nacional de Resistencia Timorense (CNRT).
Melihat situasi dan kondisi yang ada, PBB memutuskan untuk mengizinkan pembentukan pasukan multinasional di bawah pimpinan Australia yang bernama International Force for East Timor (INTERFET).
Pengizinan ini dilakukan untuk menjaga perdamaian dan keamanan di Timtim sementara waktu.
Pada April 2002, Xanana Gusmao pun dipilih sebagai Presiden pertama Timtim dengan persentase 82,7 persen dari total pemilih.
Setelah beberapa abad kuasa kolonialisme Portugis, 24 tahun menjadi bagian dari Indonesia, dan 2,5 tahun pengurusan administrasi oleh PBB, Timor Timur merdeka pda 20 Mei 2002.
Bersamaan dengan itu, UNTAET dibubarkan dan digantikan oleh United Nations Mission of Support in East Timor (UNMISET).
Badan ini masih ada di Timor Timur hingga Mei 2005 ketika United Nations Office in Timor-Leste (UNOTIL) mulai beroperasi.
(*)