Intisari-online.com -Negara Zionis dengan pahamnya Zionisme telah menjadi suara dan inspirasi untuk para nasionalis sayap-kanan di seluruh dunia.
Kekerasan mereka terhadap warga Palestina dan umat Islam yang beribadah di Masjid Al-Aqsa tidak dianggap sebagai kejahatan perang, tetapi sebagai sebuah cara baru menjadikan paham nasionalis semacam itu menjadi kenyataan.
Nasim Ahmed dalam artikelnya di Middle East Monitor mengatakan hal ini, dengan mencontohkan satu paham yang mengikuti Zionisme adalah Hindutva.
Mengutip Wikipedia, Hindutva adalah gerakan Nasionalisme Hindu yang tumbuh di India.
Dilihat sebagai ideologi politik, Hindutva dikembangkan oleh Vinayak Damodar Savarkar di tahun 1923.
Kini Hindutva mulai sangat terasa di politik India dengan pemilihan Narendra Modi sebagai Perdana Menteri India tahun 2014.
Ia diusung oleh salah satu dari tiga partai besar Hindutva, Bharatiya Janata Party (BJP).
Selain BJP, partai besar Hindutva lainnya adalah Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS), Vishva Hindu Parishad (VHP) dan organisasi lain yang secara berkelompok disebut Sangh Parivar.
Lantas apa hubungan Hindutva dengan Zionisme?
Mengutip The Conversation, Hindutva menginginkan India nantinya menjadi negara dengan konsep seperti Israel yang semakin ke sini semakin tampak gerakan Zionismenya di mana-mana.
Sekuleris India sering mengklaim jika Hindutva berniat mengubah India menjadi versi Hindu dari Pakistan.
Hal ini memang tidak salah, karena pendiri Pakistan, Muhammad Ali Jinnah mendirikan Pakistan dengan campuran agama, nasionalisme dan negara.
Baca Juga: Inilah Sejarah Israel, Dekade Pertama Setelah Memproklamasikan Kemerdekaannya
Namun analogi Pakistan tergolong terbatas.
Hal ini karena Pakistan selama lebih dari 60 tahun telah menjadi negara yang didominasi militer.
India sendiri negara demokrasi.
Sehingga sulit dibayangkan orang setara Zia-ul Haq, diktator militer Islam yang memerintah Pakistan dari 1977-1988, muncul di India dan "menganut Hindu" di India.
Maka Hindutva perlu pendekatan demokratis untuk mencapai tujuannya menjadikan India sebagai negara Hindu.
Muncullah Israel, negara demokratis dan supremasi yang mengklaim mereka sendiri adalah "negara demokrasi Yahudi".
Rasa sayang para penguasa Hindutva yang memimpin India kepada Israel telah mengakar begitu dalam, yaitu dari Vinayak Damodar Savarkar (1883-1966) sampai Modi sekarang.
Savarkar menuliskan di tahun 1920-an: "Jika impian Zionis menjadi kenyataan, jika Palestina menjadi negara Yahudi, hal itu akan menyenangkan kita sama halnya rasa senang teman-teman Yahudi kami."
Savarkar berang di tahun 1947 delegasi India di Forum Pertemuan PBB berargumen negara Arab-Yahudi di Palestina dan pertentangan delegasi tersebut terhadap ukuran negara Yahudi yang lebih besar dan negara Arab yang lebih kecil.
Madhav Sadashiv Golwalkar (1906-73) yang menyetir pergerakan Hindutva setelah India merdeka sebagai ketua RSS menulis di akhir 1930 jika pergerakan Zionis merupakan impiannya untuk India dalam 5 kesatuan saja: "Yahudi telah mempertahankan ras, agama, budaya dan bahasa, dan yang mereka inginkan adalah wilayah mereka sendiri untuk melengkapi nasionalitas mereka."
Seorang cendekiawan Israel telah menuliskan paradigma 'demokrasi etnis' menggunakan kasus negaranya sendiri, yaitu Sammy Smooha.
Ia mendefinisikan demokrasi etnis sebagai "alternatif bentuk non-sipil negara demokrasi yang dikenal untuk membentuk negara satu etnis bangsa."
Baca Juga: Pilot Israel Batalkan Serangan karena Melihat Anak-anak Kecil di Gaza saat Memburu Hamas
Ia mengatakan "contoh paling baik oleh Israel" yang "berdasarkan hegemoni Yahudi dan Zionis dan subordinasi struktural minoritas Arab".
Etnis Arab di Israel emmang kini hanya 20% dari total populasi.
Mencontoh ideologi ini, Smooha mengatakan jika ideologi "membuat pembeda penting antara anggota dan non-anggota negara etnis".
Non-anggota dilihat tidak diinginkan dan mengancam, sebagai agen pencampuran biologis, ketidakteraturan demografi, penurunan budaya, risiko keamanan dan sebagai musuh negara.
Ini mirip dengan pandangan Hindutva terhadap umat Islam di India yang walaupun hanya 15% dari total populasi, merupakan minoritas terbesar di India.
Pembeda antara anggota dan non-anggota negara itu tadi yang menuntun kepada amandemen yang sangat kontroversial di UU kewarganegaraan India era Modi sejak 2016.
UU yang disebut-sebut UU anti-Muslim itu akan memberikan kewarganegaraan India pada anggota agama yang ditunjuk, yaitu mulai dari minoritas Hindu, Sikh, Kristen, Buda, Jain, Zoroastrian dari tiga negara mayoritas Muslim di sekitar India: Bangladesh, Pakistan dan Afghanistan, yang telah menetap di India tanpa status hukum.
Artinya, umat Hindu dan non-Muslim tiga negara itu bisa dengan cepat menjadi warga negara India dengan alasan mereka adalah korban penganiayaan agama.
UU ini mirip dengan kebijakan Israel mempromosikan migrasi Yahudi dari seluruh dunia ke Israel.
Sangat jelas sekali siapa yang diinginkan menjadi warga negara dan siapa yang ingin mereka buang.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini