Intisari-online.com -Inilah cerita mengenai pembantaian massal Qana tahun 2006, yang merupakan serangan udara dari Angkatan Udara israel menyerang apartemen tiga lantai di komunitas kecil al-Khuraybah, desa Qana, Lebanon Selatan.
Kejadian ini terjadi pada 30 Juli 2006, selama Perang Lebanon 2006 yang merenggut nyawa 28 warga sipil, 16 di antaranya anak-anak kecil.
Israel lakukan serangan udara selama 48 jam atas serangan itu, di tengah permintaan gencatan senjata dalam konflik antara Israel dan gerilya Hizbullah, Lebanon.
Laporan media awalnya menyatakan lebih dari 50 orang termasuk 37 anak kecil telah meninggal.
Baca Juga: Didukung Joe Biden, Israel Semakin Gila Bombardir Jalur Gaza, Bahkan LebanonJuga Diserang
Namun kemudian laporan direvisi dengan jumlah korban hanya 28, termasuk 16 anak kecil, dan 13 orang dilaporkan menghilang.
Mengutip military.wikia.org, penduduk menggali melalui puing-puing dengan tangan mereka, mencari korban yang selamat ketika jasad-jasad terus bermunculan.
Video berita dari Arab TV tunjjukkan jasad wanita dan anak-anak berdarah-darah yang tampak memakai baju malam.
Menurut Pasukan Pertahanan Israel (IDF), pengeboman itu adalah upaya untuk menghentikan roket Katyusha ditembakkan oleh Hizbullah ke utara Israel dari desa selama 2 minggu.
Baca Juga: Inilah Negara Pertama yang Mengakui Kemerdekaan Indonesia, Diplomasi Mahasiswa di Luar Negeri
Perdana Menteri Lebanon Siniora menuduh Israel atas kejahatan perang dan bertanya, "Mengapa, kami heran, mereka memilih Qana lagi?"
Kofi Annan mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mengecam serangan tersebut.
Serangan udara
Serangan udara itu dilakukan menggunakan dua bom, setidaknya satu di antaranya dipandu dengan presisi yang dijatuhkan pukul 1 dini hari pada 30 Juli.
Bom kedua dijatuhkan lima sampai 15 menit setelah bom pertama.
Serangan udara itu membunuh anggota keluarga Shalhoub dan Hashem yang telah menggunakan garasi bawah tanah gedung apartemen tiga lantai sebagai tempat berlindung selama pengeboman berlangsung.
Laporan berita awalnya mengatakan keluarga itu tidur saat dua bom dijatuhkan di bangunan tempat mereka tinggal.
Sementara Israel telah mengarahkan penduduk Lebanon Selatan agar lari menyelamatkan diri, jalanan juga menjadi target pengeboman Israel.
Salah satu dari 8 orang yang selamat dari ledakan itu mengatakan jika serangan di jalanan Qana membuat dua keluarga urung meninggalkan bangunan itu.
Anthony Shadid dari Washington Post menggambarkan pemandangan yang ia lihat saat itu.
"Sebagian besar yang sudah meninggal tersedak debu yang terbang dan puing-puing lain. Tubuh mereka menjadi gestur terakhir mereka: lengan yang naik meminta bantuan, pria tua menarik celananya, Hussein Hashem berusia 12 tahun berbaring meringkuk dalam posisi janin, mulutnya seperti muntah tanah.
"Muhammad Chalhoub duduk di tanah tangan kanannya patah. Khadja, istrinya dan Hasna, ibunya, meninggal, begitu pula putrinya, Hawra dan Zahra, berusia dua belas tahun dan dua tahun. Begitu pula putranya, Ali, sepuluh; Yahya, sembilan; dan Assem, tujuh."
Christian Science Monitor melaporkan jika serangan udara lebih lanjut dan serangan artileri yang hancurkan beberapa rumah di Qana menunda respon penyelamatan.
Kepala Palang Merah di Tirus Sami Yazbuk mengatakan kepada The Guardian jika panggilan pertama tentang pengeboman diterima pukul 7 pagi dan penembakan di jalan menuju Qana telah menunda kedatangan personel Palang Merah.
Reaksi
Ribuan warga Israel bergabung dalam protes pada 30 Juli, sebagian besar dari mereka adalah warga Arab dari desa Umm al-Fahm, tapi juga ada ratusan pendukung Gush Shalom dan Meretz yang lakukan demonstrasi terpisah di Tel Aviv, dan jumlah yang lebih kecil lagi di Haifa dan Galilea.
Asosiasi Hak Sipil di Israel menyerukan komisi penyelidikan negara atas "sebuah [dugaan] pelanggaran terang-terangan terhadap dua prinsip dasar hukum humaniter dan hukum pidana internasional."
Pemerintah Israel menyatakan penyesalan atas serangan 30 Juli tersebut, sementara Kementerian Luar Negeri AS menyatakan rasa prihatin dan merasa bersalah.
Ribuan warga Lebanon menggencarkan aksi demonstrasi di depan markas PBB di Beirut.
Saat itu mereka meneriakkan sumpah serapah untuk AS dan Israel dan nyatakan dukungan penuh untuk Hizbullah.
Perdana Menteri Lebanon saat itu Fouad Sinora mengecam aksi Israel.
Ia langsung membatalkan pembicaraan dengan Kementerian Luar Negeri AS yang sudah dikenal menjadi sekutu terkuat Israel.
"Tidak ada urang di pagi muram ini untuk diskusi apapun selain gencatan senjata tanpa syarat dan investigasi internasional untuk pembantaian Israel," ujarnya dalam siaran televisi di negaranya.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini