Advertorial
Intisari-online.com -Sama halnya dengan di Palestina, di ujung timur Indonesia tepatnya di Papua tengah disorot dunia karena dikabarkan kekerasan serupa tengah terjadi.
Bedanya kekerasan tersebut diklaim dilakukan oleh militer Indonesia (TNI) terhadap warga Papua.
Sejatinya Papua ingin memerdekakan diri dari Indonesia, dan sudah banyak gerakan pemisahan diri Papua dari Indonesia.
Semua gerakan pemisahan Papua itu dipayungi oleh istilah umum Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Seperti gerakan kemerdekaan Papua dari Indonesia yang sudah dilakukan sejak tahun 1963, OPM juga sudah berdiri selama itu.
Bagi pemerintah gerakan ini dianggap sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua.
Nafsu untuk merdeka
Menyukil sejarah yang tertulis di Wikipedia, selama Perang Dunia Ke-2, Hindia Belanda dipimpin oleh Soekarno menyuplai minyak untuk upaya perang Jepang dan kemudian menyatakan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Papua Barat yang saat itu bernama Netherlands New Guinea, dan Australia mendaftarkan teritori Papua ke wilayah mereka meski masih dikontrol Jepang dan bersekutu dengan pasukan AS dan Australia saat Perang Pasifik.
Hubungan pra-perang dari Belanda dan koloni di Guinea-nya digantikan dengan promosi gerakan sipil Papua sampai administrasi Indonesia mulai berkuasa sejak 1963.
Meski ada kesepakatan antara Australia dan Belanda tahun 1957 yang menyebutnya sebagai teritori mereka untuk bergabung untuk merdeka, kurangnya pengembangan di teritori Australia dan kepentingan AS membuat Australia dan Papua terpisah.
OPM kemudian berdiri pada Desember 1963 dilatarbelakangi semua pergerakan itu dengan pengumuman bahwa "Kami tidak ingin kehidupan modern! Kami menolak perkembangan apapun: kelompok agama, bantuan kemanusiaan, dan organisasi pemerintah. Tinggalkan kami sendiri!".
Netherlands New Guinea mengadakan pemilihan pada Januari 1961 dan Dewan Nugini diinagurasi pada April 1961.
Namun di Washington D.C., ada keinginan bagi Indonesia untuk melepaskan pilot CIA Allen Pope, dan ada proposal bagi PBB atas Papua Barat.
Presiden Soekarno mengatakan ia mau 'meminjam tangan PBB untuk memindahkan wilayahnya ke Indonesia' dan Penasihat Keamanan Nasional McGeorge Bundy mulai melobi Presiden AS John F. Kennedy untuk memindahkan administrasi Papua Barat ke Indonesia.
Meski Belanda bersikeras warga Papua Barat boleh memutuskan sendiri kemerdekaannya berdasarkan piagam PBB dan Resolusi 1514 yang disebut 'Aksi Pilihan Bebas', Kesepakatan New York malah memberikan penundaan 7 tahun dan tidak berikan PBB otoritas apapun untuk mengawasi aksi tersebut.
Kelompok separatis mengibarkan bendera Bintang Kejora Papua Barat tiap tahun pada 1 Desember yang mereka sebut "hari kemerdekaan Papua".
Kemudian pada Oktober 1968, Nicolaas Jouwe, anggota Dewan Nugini dan Komite Nasional yang dipilih oleh Dewan itu tahun 1962, membujuk PBB mengklaim jika 30 ribu pasukan Indonesia dan ribuan warga Indonesia menekan populasi Papua.
Menurut Dubes AS Galbraith, Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik juga yakin militer Indonesia adalah penyebab masalah di Papua dan jumlah pasukan harus dikurangi setidaknya satu setengahnya.
Dubes Galbraith menggambarkan OPM untuk 'tunjukkan sentimen raksasa anti-Indonesia' dan kemungkinan 85-90% warga Papua bersimpati dengan Papua Merdeka karena setidaknya tidak suka dengan warga Indonesia."
Birgadir Jenderal Sarwo Edhie Wibowo melihat desain itu dan melakukan Aksi Pilihan Bebas yang dilaksanakan dari 14 Juli sampai 2 Agustus 1969.
Perwakilan PBB Oritiz Sanz sampai di sana pada 22 Agustus 1968 dan membuat permintaan berulang kepada Indonesia untuk perbolehkan sistem referendum yaitu satu orang satu voting tapi permintaan ini ditolak atas dasar aktivitas itu tidak spesifik atau tidak diminta oleh Kesepakatan New York 1962.
Seribu dua puluh lima warga Papua dewasa dipilih dan diinstruksikan sesuai prosedur yang diperlukan oleh artikel Kesepakatan New York 1962.
Hasilnya adalah konsensus integrasi masuknya Papua ke Indonesia.
Merespon hal itu, Nicolas Jouwe dan dua pemimpin komando OPM, Seth Jafeth Roemkorem dan Jacob Hendrik Prai merencanakan umumkan Kemerdekaan Papua pada 1971.
Pada 1 Juli 1971 Roemkorem dan Prai umumkan 'Republik Papua Barat' dan membuat konstitusinya.
Namun konflik strategi antara Roemkorem dan Prai segera menyebabkan OPM terpecah menjadi dua faksi: PEMKA (Pemulihan Keadilan) yang dipimpin oleh Prai dan TPN yang dipimpin oleh Roemkorem.
Prai menaruh curiga kepada Roemkorem yang punya latar belakang pendidikan militer Indonesia, dan Prai pun mendirikan PEMKA.
Perpecahan ini juga dipengaruhi oleh sentimen kesukuan.
Anggota dari Biak dan sekitarnya mengikuti gerakan Roemkorem, sedangkan dari Keerom dan kawasan selatan bergabung dengan PEMKA.
Hal ini melumpuhkan kemampuan OPM dan KKB Papua saat itu.
Namun kini perpecahan ini masih laris oleh pejuang kontemporer dan lokal serta oleh aktivis politik ekspatriat.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini