'Palestina Membutuhkan Pemerintah yang Membebaskan, Bukan Memperbudak', Beginilah Realita Pemilu di Palestina yang Dijadikan Perang Internal Fatah dan Hamas, Pantas Israel Kian Mudah Serang Mereka

Maymunah Nasution

Editor

Warga Palestina berdemo di pusat kota Ramallah, Tepi Barat, menentang penundaan pemilu parlemen Palestina
Warga Palestina berdemo di pusat kota Ramallah, Tepi Barat, menentang penundaan pemilu parlemen Palestina

Intisari-online.com -Sebelum Presiden Palestina Mahmoud Abbas menunda pemilihan legislatif Palestina, beberapa pengamat berpikir jika akan ada kompetisi pemilu yang bisa mengarahkan terjadinya perubahan politik.

Yang lainnya berargumen jika pemilu adalah satu-satunya cara mencapai persatuan nasional dan mengakhiri ketegangan internal Palestina antara Fatah dan Hamas.

Fatah dan Hamas adalah dua pergerakan politik dominan di Palestina.

Namun realita yang ada justru tunjukkan hal sebaliknya, pemilu malah jadi ladang tumbuhnya demokrasi palsu atau 'shamokrasi' yang mempertahankan struktur opresi, tirani dan fragmentasi.

Baca Juga: Tak Lama Setelah Larang Warga Palestina Beribadah di Masjid Al-Aqsa dengan Dalih Covid-19, Israel Malah Biarkan Puluhan Ribu Warganya Berkerumun dalam Perayaan yang Berakhir Menjadi Bencana Puluhan Orang Tewas

Hamas dan Fatah telah mendominasi panggung politik Palestina selama 15 tahun terakhir dan kini mereka masih menginginkan berkuasa lagi, menyebabkan kerusakan parah di pergerakan nasional Palestina, mengurangi proyek pembebasan nasional dan memperparah perpecahan vertikal dan horizontal di dalam masyarakat Palestina.

Hasilnya berpuluh-puluh tahun lamanya, warga Palestina telah menjadi pengamat saja dan tidak mampu berpartisipasi dalam perkembangan politik di komunitas mereka sendiri.

Memang, perasaan terasing mereka di tanah air dan keterasingan dari pemerintahan adalah bentuk penindasan yang sama dengan yang ditimbulkan oleh penjajahan kolonial Israel.

Warga Palestina butuh pemerintah yang membebaskan, bukannya memperbudak.

Baca Juga: Kerap Dipandang Sebelah Mata, Wanita Palestina Justru Jadi 'Tulang Punggung' untukHadapi Kekerasan Pasukan Israel, Bahkan Pasukan Khusus WanitanyaJago Bertempur di Laut, Udara, dan Darat!

Artikel tulisan Alaa Tartir, direktur pemrograman Al-Shabaka, Jaringan Kebijakan Palestina yang diterbitkan di Al Jazeera, mengatakan ketika pemilu pada akhirnya dijadwal ulang, Fatah dan Hamas akan mencoba sekali lagi memonopoli pemilu.

Hal terburuk warga Palestina bisa lakukan adalah memberikan mereka legitimasi dengan memilih kandidat dari keduanya, yang hanya akan menguatkan posisi mereka dan mengesahkan otoritas itu, dan posisi warga Palestina tidak berubah.

Namun hasil ini masih bisa dihindari, karena pemilu bisa dipakai untuk mengubah sistem poltik Palestina jika dengan pendekatan berbeda.

Pasukan politik yang menginginkan perubahan di poltik Palestina seharusnya mencari cara menyetir publik Palestina dari pilihan mengerikan status quo.

Baca Juga: Katanya Jadi Kota Suci 3 Agama Besar, Nyatanya Umat Muslim Palestina Dicegat hingga Diserang Roket Saat Masuk ke Yerusalem dan Masjid Al-Aqsa oleh Pasukan Yahudi Israel, 'Padahal Kami Hanya Mau Berdoa'

Hal itu bisa membuat pemilih menghukum dua kekuatan politik yang dominan dan memberi ruang untuk kepemimpinan baru.

Ini akan menjadi langkah pertama untuk meminta pertanggungjawaban mereka di tingkat akar rumput karena telah merusak perjuangan Palestina.

Untuk menghukum pun tidak perlu ada partai politik baru.

Warga bisa mendemonstrasikan penolakan mereka pada status quo dengan memakai surat suara invalid bertuliskan 'bukan Fatah maupun Hamas', atau 'katakan tidak untuk rezim politik menyedhkan', ' tidak untuk korupsi' atau 'tidak untuk pemecahan'.

Baca Juga: BombardirJalur Gaza Selama Puluhan Tahun, TerbongkarSejarahKonflik Palestina dan Israel, hingga Lika-liku Perjuangan Muslim Palestina MelawanUmat Yahudi

Dengan surat suara seperti itu, suara oposisi dapat berkumpul dalam aksi mengekspos otoritas yang berkuasa dan mengirim pesan yang jelas: "cukup main-mainnya dengan proyek nasional dan masa depan kami".

Hal ini juga akan menjadi landasan penolakan kerangka Perjanjian Oslo dan rezim pemerintah dan politik yang telah diciptakan perjanjian tersebut.

Aksi kolektif, konfrontatif, dan penuh penolakan memerlukan penguakan otoritas sebelum massa sebagai pra kondisi untuk perubahan.

Proses pemilu ini dapat digunakan untuk menempatkan kepada publik kegagalan rezim pemerintah yang membuat mereka menderita.

Baca Juga: Pantas Kejahatannya di Tanah Palestina Tak Pernah Tersentuh Hukum, Israel Ternyata Kerap Lakukan Hal 'Paling Menjijikan' Ini di Negeri Ratu Elizabeth

Inilah kesempatan mengubah perilaku orang-orang serta persepsinya, yang nantinya akan diperlukan.

Contohnya, baik Fatah dan Hamas dalam kampanye mereka mempromosikan diri mereka sebagai "pelindung proyek nasional Palestina" menggunakan baik retorika "pembangun negara" maupun "pertahanan".

Menurut Tartir inilah saat yang tepat mengungkap kekeliruan dari retorika "pelindung proyek nasional" yang mana sebenarnya adalah penutupan menyedihkan untuk semua kerusakan yang dilakukan dua pihak kepada warga Palestina.

Selanjutnya menurut Tartir jika semua menolak status quo, saatnya organisasi baru dipimpin milenial yaitu Generation for Democratic Renewal yang boleh maju memimpin Palestina.

Baca Juga: Serang 10.000 Tentara Mesir, Trio Pilot Israel dan Satu Marinir AS Menang Meski 'Tidak Punya Apa-apa,' Lenart Bocorkan Senjata Rahasia Saat Itu Sebenarnya

Organisasi pimpinan pemuda ini bukanlah yang pertama kali lahir, tapi merupakan keturunan dari organisasi pemuda yang merebak selama kebangkitan Arab di 2011-2012, termasuk contohnya Palestinians for Dignity.

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini

Artikel Terkait