Intisari-online.com - Sebelum Presiden Palestina Mahmoud Abbas menunda pemilihan legislatif Palestina, beberapa pengamat berpikir jika akan ada kompetisi pemilu yang bisa mengarahkan terjadinya perubahan politik.
Yang lainnya berargumen jika pemilu adalah satu-satunya cara mencapai persatuan nasional dan mengakhiri ketegangan internal Palestina antara Fatah dan Hamas.
Fatah dan Hamas adalah dua pergerakan politik dominan di Palestina.
Namun realita yang ada justru tunjukkan hal sebaliknya, pemilu malah jadi ladang tumbuhnya demokrasi palsu atau 'shamokrasi' yang mempertahankan struktur opresi, tirani dan fragmentasi.
Hamas dan Fatah telah mendominasi panggung politik Palestina selama 15 tahun terakhir dan kini mereka masih menginginkan berkuasa lagi, menyebabkan kerusakan parah di pergerakan nasional Palestina, mengurangi proyek pembebasan nasional dan memperparah perpecahan vertikal dan horizontal di dalam masyarakat Palestina.
Hasilnya berpuluh-puluh tahun lamanya, warga Palestina telah menjadi pengamat saja dan tidak mampu berpartisipasi dalam perkembangan politik di komunitas mereka sendiri.
Memang, perasaan terasing mereka di tanah air dan keterasingan dari pemerintahan adalah bentuk penindasan yang sama dengan yang ditimbulkan oleh penjajahan kolonial Israel.
Warga Palestina butuh pemerintah yang membebaskan, bukannya memperbudak.
Penulis | : | Maymunah Nasution |
Editor | : | Maymunah Nasution |
KOMENTAR