Advertorial
Intisari-online.com -India tengah disorot oleh berbagai negara karena lonjakan kasus Covid-19 yang begitu tinggi di negara itu.
Namun, yang terjadi di India bukan hanya tentang lonjakan kasus Covid-19 saja.
Negara itu akan melangsungkan eksekusi mati wanita.
Dilansir dari CNN, India sudah lama tidak mengeksekusi mati wanita sejak 1955.
Namun kejahatan wanita ini begitu mengerikan sehingga India tidak mendapat pilihan selain mengeksekusinya.
Wanita bernama Shabnam itu membunuh keluarganya sendiri total 7 anggota keluarga.
Saat ditemukan di rumahnya, ia berbaring tidak sadar di lantai dekat ayahnya, Shaukat Ali.
Leher ayahnya digorok oleh Shabnam.
Jasad dua kakak laki-laki, ibu, kakak ipar, dan sepupu berumur 14 tahun dari Shabnam terbaring hampir dipenggal di ruangan yang dipenuhi oleh percikan darah.
Keponakannya yang masih bayi sementara itu ditemukan belakangan dicekik sampai mati.
Bayi itu sebelumnya tidur di antara tubuh orang tuanya.
Kejadian itu terjadi di Bawan Kheri, sebuah desa di wilayah utara India, Uttar Pradesh.
Shabnam saat membunuh sedang hamil 8 bulan, dan akhirnya Shabnam dan pacarnya, Saleem, divonis bersalah dan dihukum gantung.
Tim pengacara Shabnam sedang mencoba menunda eksekusinya, dan berargumen jika ia adalah korban juga,
Pengacara Shreya Rastogi mengatakan kliennya yang tidak pernah mengakui kebersalahannya, adalah korban dari masyarakat patriarki yang mendahulukan kasta.
Selain korban yang meninggal, pasangan itu menciptakan korban lain, yaitu anak mereka Bittu.
Bittu dibesarkan Shabnam di penjara sebelum akhirnya diserahkannya kepada orang tua asuh.
Motif pembunuhan
Shabnam dan Saleem saling mencintai dan tinggal di desa yang sama, tapi keluarga mereka tidak setuju mereka menikah.
Saat melakukan aksinya, Shabnam berumur 22 tahun dan bekerja sebagai guru dari komunitas Saifi.
Saleem berumur 24 tahun dan merupakan pemuda Pathan yang tidak bekerja.
Keluarga mereka sama-sama keluarga Muslim tapi berbeda kasta.
Di India, kasta sudah masuk ke dalam kehidupan sosial sedemikian rupa sampai tidak hanya diterapkan oleh keluarga-keluarga Hindu saja, keluarga Muslim pun menggunakan hierarki serupa berdasarkan kependudukan bersejarah atau dari daerah Arab mana mereka datang.
Keluarga sering memaksa anak-anaknya menikah dengan orang lain di dalam komunitasnya.
Gagal melakukannya bisa menyebabkan terjadinya kekerasan dan bahkan sampai anak-anak itu dibunuh karena dianggap mempermalukan keluarga.
Sebelum pembunuhan terjadi, Lal Mohammad, ayah dari mendiang kakak ipar Shabnam, mengatakan kepada polisi tentang hubungan Shabnam.
"Shabnam pergi ke arah yang salah, ia ingin menikah dengan Saleem dan atmosfer di rumah sangatlah tegang," ujar Mohammad mengulangi ucapan anaknya, Anjum.
Nischay Tyagi, rekan kerja Shabnam, bersaksi jika Shabnam mengatakan kepadanya ia ingin menikahi Saleem tapi keluarganya menentangnya.
Sukkhan Ali, sepupu Shabnam, mengatakan kepada pengadilan Saleem sering datang ke rumah mereka untuk menemui Shabnam.
Ayah Shabnam berang lalu memukuli anaknya.
Namun keluarga Shabnam tidak tahu jika Shabnam hamil anak dari Saleem.
Hakim pengadilan distrik SAA Husaini mengamati jika warga lokal "tidak akan menerima aksi haram," merujuk pada anak yang belum lahir.
Namun hakum mengatakan pasangan itu punya pilihan lain untuk melarikan diri dari masyarakat konservatif Bawan Kheri, tidak perlu sampai membunuh tujuh orang.
Tidak jelas apakah Shabnam tahu ia hamil 8 minggu saat membunuh mereka semua.
Jaksa penuntut mengatakan ia tahu dan hal itu memotivasi pembunuhannya.
Mereka berargumen Shabnam ingin membunuh keluarganya sehingga ia menjadi pewaris properti dan dapat tinggal dengan nyaman bersama Saleem dan anak mereka.
Pengacara Shabnam, Rastogi, mengatakan jaksa tidak membuktikan teori tersebut.
Pengacaranya membela jika Shabnam hanya tahu tentang kehamilannya selama masa pengecekan kesehatan setelah ia ditangkap dan ditahan.
Shabnam pun melahirkan di balik jeruji penjara.
Bittu lahir pada Desember 2008, 8 bulan setelah pembunuhan itu.
Bittu berada di penjara wanita sampai 6 tahun hingga kemudian teman kuliah Shabnam, Usman Saifi, menawarkan menjadi orang tua asuh bagi Bittu.
Namun nama Bittu terkenal sebagai anak dari pembunuh, sehingga akhirnya namanya disamarkan menjadi Bittu.
Kehidupan dan sekolahnya diganggu oleh media India, dan suatu hari saat ia pergi ke masjid, ada yang menyebutnya ia anak dari Shabnam wanita yang akan digantung.
Saifi mengatakan insiden itu berdampak buruk bagi Bittu.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini