Advertorial
Intisari-Online.com - Pada tahun 1991, Amerika Serikat dan sekutu koalisinya mencetak kemenangan atas Irak.
Kemenangan itu mendorong tentara penyerang keluar dari Kuwait setelah perang udara 40 hari dan serangan darat 100 jam.
Tindakan koalisidibenarkan secara universal, hanya Yordania, Aljazair, Sudan, Yaman, dan Tunisia yang menentang tindakan tersebut.
Juga yang mendukung adalah Iran, musuh bagi Irak dan Amerika Serikat.
Namun jauh di dalam jajaran paling fanatik dari Korps Pengawal Revolusi Iran, sebuah rencana licik dibuat untuk menyerang pasukan AS.
Selama awal-awal Perang Teluk di tahun 1990, Amerika Serikat mengirim ribuan pasukan, kendaraan, kapal, dan pesawat ke wilayah tersebut.
Mereka membangun kekuatan yang dapat menyaingi Tentara Irak Saddam Hussein dan mencegahnya bergerak lebih jauh melewati Kuwait.
Semua itu akan menjadi target yang menggoda bagi musuh yang melihatnya.
Begitu juga yang dipikirkan oleh faksi Pengawal Revolusi Iran.
Amerika Serikat bahkan tidak mengharapkan serangan dari Iran.
Seluruh tujuan adanya Pengawal Revolusi adalah untuk mencegah ancaman asing entah ancaman itu datang dari luar Iran atau disulut di dekat perbatasannya sendiri.
Mereka terdiri dari layanan keamanan internal yang digabungkan dengan organisasi paramiliter untuk beroperasi baik di dalam maupun di luar negara asalnya.
Mereka adalah pembela paling gigih Iran yang percaya pada visi Ayatollah Ruhollah Khomeini tentang sebuah bangsa yang didirikan di atas prinsip-prinsip Syiah Islam.
Dalam praktiknya, semangat ideologis mereka telah memberi unit IRGC ini lampu hijau untuk melakukan apa pun untuk menjaga Iran dan pemerintah Islamnya tetap aman.
Tindakan yang mereka lakukan termasuk kekerasan, terorisme, dan bahkan perang habis-habisan bersama sekutu Iran.
IRGC-lah yang membantu Iran melawan Irak yang secara teknologinya lebih unggul.
Perang itu jugamembuat IRGC muncul sebagai kekuatan militer dan politik utama di Iran.
Jadi, ketika Amerika Serikat meluncurkan serangan Perang Teluk, IRGC diam-diam memperhatikannya.
Saat puluhan ribu pasukan koalisi pimpinan AS berkumpul di Arab Saudi, unit dari faksi pemberontak Pengawal Revolusi, yang dipimpin oleh putra Ayatollah Khomeini, Ahmad, berusaha melancarkan serangan rudal ke Arab Saudi.
Tujuannya adalah untuk memulai perang antara Amerika Serikat dan Iran pada malamPerang Teluk.
Pengawal Loyalis dan unit Angkatan Darat Iran reguler di bawah komando Kepala IRGC saat itu Mohsen Rezai mengetahui rencana tersebut.
Rudal akan diluncurkan dari Khorramshahr, sebuah kota Iran di perbatasan Irak dekat Kuwait.
Khorramshahr adalah tempat pertempuran berdarah Iran-Irak yang dimenangkan dengan susah payah oleh pasukan Iran.
Ayatollah Khomeini meninggal pada tahun 1989, tetapi warisannya melindungi putranya yang memberontak.
Ahmad Khomeini, dianggap sebagai tangan kanan ayahnya, dibebaskan dari komando Pengawal Revolusi dan dikirim untuk hidup dalam isolasi sampai kematiannya pada tahun 1995.
Ulama berusia 49 tahun itu meninggal karena penyakit jantung misterius saat masih hidup terisolasi.
Amerika Serikat melanjutkan kemenangan atas bekas musuh Iran, mempermalukan Saddam Hussein dan memaksa rezim Irak untuk menerima sanksi ekonomi yang keras dan pembatasan militer sampai AS kembali untuk menggulingkannya pada tahun 2003.
Kesabaran Iran terbayar dengan ketidakstabilan baru-baru ini di Irak yang memungkinkan Republik Islam Iran untuk memproyeksikan kekuatan di Timur Tengah.
(*)