Penulis
Intisari-online.com -Apa yang Anda rasakan jika Anda terpisah dari orang yang Anda cintai, dan kemudian bertemu puluhan tahun berikutnya?
Hal itulah yang dirasakan oleh Lee Soon-kyu, seorang nenek dari Korea Selatan.
Ia setia menunggu suaminya, yang jarak bertemu dengannya terakhir kali adalah 65 tahun sebelumnya.
Namun ketika suaminya memeluknya, ia tersenyum malu-malu, seperti pengantin muda lagi.
Tahun 2015 lalu, berita menggemparkan mengenai pasangan yang terpisah perang ini mencuat.
Melansir Sydney Morning Herald, Lee telah menikah dengan Oh In-se hanya selama 7 bulan.
Saat itu, Lee hamil 5 bulan, dan kemudian Perang Korea merebak di tahun 1950.
Oh tenggelam dalam perang itu, dan berakhir di Korea ketika perang ditunda 3 tahun kemudian oleh gencatan senjata yang membuat Semenanjung Korea terpisah menjadi dua.
Pasutri itu tidak bertemu lagi sampai akhirnya Oh yang sudah berusia 83 tahun, muncul mengenakan topi fedora hitam sebagai bagian dari seragam tentara yang bereuni dengan keluarga.
Reuni tersebut diatur oleh dua negara Korea selama hampir 2 tahun.
"Aku tidak bisa mengatakan berapa banyak aku merindukanmu," ujar Lee.
Lee tidak pernah menikah lagi dan membesarkan anaknya sendirian.
"Aku menangis sangat banyak memikirkan tentang kita sampai tidak ada lagi air mata yang tertinggal."
Oh, memegang tangan istrinya, mengatakan, "Sayangku, aku tidak tahu perang dapat melakukan ini kepada kita."
Lee, berusia 85 tahun, dengan anaknya Oh Jang-gyun yang berumur 64 tahun, adalah dua dari 389 warga Korsel yang menyeberang perbatasan penuh senjata ke Korut.
Mereka semua mengendarai bus dan ambulans untuk bertemu 96 warga lansia Korut yang ingin bertemu kembali dengan keluarga untuk mungkin terakhir kalinya.
"Sini, duduklah dekat denganku," ujar Oh kepada istrinya memberikan tanda agar duduk ke kursi di meja dalam aula yang ramai di resor pegunungan Kumgang, utara perbatasan yang membagi Korea.
Oh duduk di antara anak dan istrinya, yang juga mengenakan topi hitam sama dengan ayahnya.
"Terima kasih tetap hidup," ujar Lee yang mengenakan baju tradisional Korea dan rambut abu-abu panjangnya disanggul, mengatakan kepada suaminya.
Ia tetap tinggal di rumah mereka dan tidak pernah menikah lagi, berharap suaminya suatu hari akan kembali.
Ia telah membelikan suaminya jam emas sederhana, yang diukir dengan nama keduanya.
"Jam tangan begitu berharga di masa lalu di desa-desa," ujar Lee saat meletakkannya di pergelangan tangan suaminya.
"Aku selalu menyesal tidak bisa memberikanmu sebuah jam tangan."
Anak mereka mengatakan kepada reporter sebelum berangkat reuni, ia menanti mampu memanggil "Ayah" pertama kalinya dalam hidupnya.
"Ayah," teriaknya saat melihat sosok pria itu, sebelum membungkuk dalam, seperti adat Korea, dan memeluk ayahnya.
"Aku selalu mencoba hidup bangga sebagai anakmu," ujarnya sambil menangis.
Waktu mereka tapi sangatlah singkat. Mereka diberi izin bersama untuk 12 jam saja, baik dalam kelompok maupun sendiri-sendiri, sampai hari berikutnya mereka harus berpisah lagi.
Pada hari berikutnya, ada 90 lansia lain dari Korsel yang akan menyeberangi perbatasan untuk reuni tiga hari dengan 188 kerabat di Korut.
Media asing tidak boleh ikut reuni, tapi sekelompok reporter lokal membawa rekaman kembali ke Korsel.
Rekaman-rekaman itu tunjukkan adegan mengharukan dari para saudara perempuan merangkul saudara lelakinya.
Seorang putra menangis mengenalkan dirinya kepada ayahnya, dan para keponakan membungkuk kepada paman mereka.
Reuni dilaksanakan di resor Pegunungan Diamond di tenggara Korut, yang merupakan penampakan langka dan emosional dari panjangnya politik pembagian semenanjung yang mempengaruhi keluarga terpisah oleh perang.
Selama lebih dar 60 tahun, mereka dilarang bertukar surat, telepon atau email, bahkan tidak boleh bertemu.
Korsel menjadi negara yang berulang kali meminta lebih banyak reuni, yang dianggap sebagai barometer hubungan kedua negara.
Namun karena ketegangan politik yang naik turun, hanya 18800 warga Korea yang diperbolehkan berpartisipasi dalam 19 pertemuan reuni sejak 1985.
Saat pertemuan itu tampak kesenjangan hidup antara Korsel dan Korut.
Mereka yang tinggal di Korut tampak jauh lebih tua daripada yang tinggal di Korsel, dan wajah mereka lebih berkeriput serta sudah tidak punya gigi.
Koo Sang-yun adalah warga Korsel tertua yang ikut acara itu di usia 98 tahun.
Ia membawa dua pasang sepatu merah untuk dua anak perempuannya, Sung-ja dan Sun-ok, yang sudah berusia 71 dan 68 tahun saat itu.
Mereka berusia 7 dan 4 saat dipisahkan dari ayah mereka pada September 1950, beberapa bulan saja setelah perang dimulai.
Sepatu itu adalah janji Koo kepada kedua anaknya, yang baru bisa ia tepati hampir 70 tahun setelahnya.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini