Intisari-Online.com - Alexei Navalny, lawan utama Presiden Rusia Vladimir Putin, dijatuhi hukuman penjara selama dua setengah tahun pada Februari.
Dia dituduh melanggar pembebasan bersyarat yang disebutnya bermotif politik.
Moskwa, yang telah meragukan insiden keracunan yang dialaminya, menggambarkan Navalny sebagai pembuat onar yang didukung Barat yang bertekad untuk menggoyahkan Rusia.
Navalny dipenjara dalam kondisi yang menyiksa dan mungkin perlahan-lahan akan membunuhnya.
Kelompok hak asasi manusia Amnesty International menyoroti kondisi Navalny, yang tahun lalu diracuni dengan zat saraf tingkat militer.
Oposisi yang vokal mengkritik Kremlin itu diyakini sekarang menjadi sasaran di penjara.
Tidak diberi waktu tidur yang cukup dan tidak memiliki akses ke dokter yang dapat dipercaya.
"Rusia, pihak berwenang Rusia, mungkin menempatkannya dalam situasi yang bisa membunuhnya perlahan-lahan dan berusaha menyembunyikan apa yang terjadi padanya," ujar Agnes Callamard, Sekretaris Jenderal Amnesty International, kepada Reuters pada Rabu (7/4/2021).
Menurut pihaknya, otoritas Rusia secara terang-terangan telah melanggar hak Navalny.
Karena itu, Amnesty International merasa pihak luar harus berbuat lebih banyak.
"(Mereka) telah mencoba untuk membunuhnya, mereka sekarang menahannya, dan memaksakan kondisi penjara, itu sama saja dengan penyiksaan."
Navalny melakukan mogok makan minggu lalu di dalam tahanannya.
Ini dilakukan untuk memaksa penjara yang menahannya di luar Moskwa memberinya perawatan medis yang tepat, untuk apa yang dia katakan sebagai nyeri akut di punggung dan kakinya.
Otoritas Rusia menolak mengomentari kesehatannya.
Kremlin hanya mengatakan itu adalah masalah layanan penjara federal.
Sementara layanan penjara pekan lalu mengatakan pria 44 tahun itu sudah menerima semua perawatan yang diperlukan.
Sekretaris Jenderal Amnesty International menilai perlakuan buruk kepada Navalny telah memperburuk ketidaksetaraan dan meningkatkan represi yang disponsori negara di beberapa negara selama pandemi Covid-19.
Menurut Callamard, pemerintah tertentu telah mengatur kondisi pandemi untuk menekan perbedaan pendapat dan hak asasi manusia terlebih pada kelompok minoritas.
Sementara di negara lain, telah terjadi tindakan darurat yang mendekati normalisasi yang membatasi kebebasan sipil, tambahnya.
Callamard mengatakan, “Covid-19 telah memperkuat penindasan.”