Intisari-Online.com - Dalam sejarah Timor Leste, wilayah ini pernah diinvasi oleh pasukan Indonesia, yaitu pada tahun 1975.
Itu terjadi setelah Portugal, penjajah Timor Leste selama ratusan tahun, meninggalkan Bumi Lorosae.
Invasi oleh pasukan Indonesia dimulai tanggal 7 Desember 1975, selanjutnya menjadikan Timor Leste yang saat itu bernama Timor Timur, sebagai bagian wilayah Indonesia.
Serangan tersebut dilakukan selama masa pemerintahan Soeharto, dikenal sebagai Operasi Seroja.
Hal yang melatarbelakangi serangan Indonesia terhadap Timor Leste, konon tak lepas dari kekhawatiran terhadap pergerakan Fretilin.
Fretilin (Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente) sendiri saat itu merupakan sebuah gerakan pertahanan yang berjuang untuk kemerdekaan Timor Timur
Ada kekhawatiran bahwa kelompok tersebut dipengaruhi Komunis dan Timor Leste akan menjadi wilayah selanjutnya yang bakal menjadi lahan suburnya paham komunis setelah Vietnam.
Indonesia berbagi kekhawatiran itu dengan Amerika Serikat. Di manasebuah dokumen mengungkap rahasia bagaimana peran Amerika Serikat dalam peristiwa invasi Timor Timur.
Dokumen rahasia terungkap tahun 2001 usai Timor Leste meraih kemerdekaannya.
Itu mengungkapkan kebungkaman resmi dan kebohongan yang dilakukan AS selama 26 tahun untuk menyangkal keterlibatan Presiden Ford dan Menteri Luar Negeri Henry Kissinger dalam keputusan yang dibuat Soeharto.
Pada akhirnya melalui dokumen tersebut, terungkap bagaimana Ford dan Kissinger ikut bertanggungjawab atas kekejaman yang dilakukan oleh kediktatoran militer Indonesia terhadap Timor Leste.
Juga mengungkap bagaimana AS mengulur operasi tentara Indonesia terhadap Timor Leste untuk menutupi keterlibatannya.
Melansir wsws.org (19/12/2001), Dokumen rahasia diterbitkan oleh National Security Archive di George Washington University.
Atas permintaan Arsip, Perpustakaan Kepresidenan Gerald R. Ford merilis dua dokumen penting yang tidak diklasifikasikan yang mengungkapkan peran Presiden Ford dan Menteri Luar Negeri Henry Kissinger.
Arsip memposting dokumen itu di situs webnya pada 6 Desember 2001.
Dokumen yang dirilis, bertanggal dari Juli 1975 hingga Juni 1976, mengungkapkan serangkaian diskusi antara Ford, Suharto dan Kissinger dan sejumlah diskusi internal AS tentang Timor Leste.
Dokumen 1, tanggal 5 Juli 1975, adalah catatan pembicaraan antara Ford dan Suharto yang diadakan di Camp David di Amerika Serikat.
Kedua pemimpin bertemu hanya dua bulan setelah kekalahan terakhir AS di Vietnam, membahas kepentingan bersama mereka dalam menekan gejolak politik dan ideologis di Asia Tenggara.
Suharto meminta bantuan militer dan intelijen AS lebih banyak. Dia juga secara blak-blakan menyatakan bahwa tidak ada alternatif selain memasukkan Timor Timur, dan menyebut kelompok politik Timor yang menyerukan kemerdekaan 'dipengaruhi Komunis', ketakutan yang sama dirasakan pemerintah Amerika Serikat.
Bagaimana pengaruh AS tampak dari tindakan Soeharto setelah pertemuan itu.
Rupanya didorong oleh pertemuannya dengan Ford, Soeharto kembali ke rumah untuk membuat pernyataan publik pertamanya yang menyatakan bahwa Timor Leste tidak bisa dibiarkan merdeka.
Dokumen 2, tertanggal 12 Agustus 1975, menguraikan diskusi yang diadakan oleh Kissinger dan beberapa staf seniornya.
Sebuah kudeta telah dilaporkan di Timor Timur tetapi tidak jelas apakah Uni Demokratik Timor yang pro-Portugis atau Fretilin yang pro-kemerdekaan telah mengambil alih.
Kissinger berkomentar: “Sangat jelas bahwa Indonesia akan mengambil alih pulau itu cepat atau lambat.”
Dokumen 3 dan 3a, dari November 1975, adalah memoranda yang disiapkan Kissinger untuk Ford.
Setelah menguraikan sepenuhnya manuver Indonesia untuk menguasai Timor Lorosa'e, Kissinger dengan jelas mengantisipasi invasi Indonesia, dan memberi tahu Ford tentang potensi masalah, yaitu penggunaan persenjataan yang dipasok AS, sementara undang-undang AS mengharuskan senjata semacam itu digunakan hanya untuk 'pertahanan diri'.
“Merger dengan Indonesia mungkin merupakan solusi terbaik bagi koloni jika penduduk setuju,” sarannya.
Ia menegaskan bahwa penggunaan senjata AS oleh Indonesia akan melanggar hukum AS.
“Penggunaan senjata yang dipasok oleh AS oleh Indonesia dalam pendudukan terang-terangan di wilayah tersebut, bagaimanapun, akan melanggar hukum AS. Kami diam-diam telah menunjukkan hal ini kepada Pemerintah Indonesia, dan tampaknya ini menjadi faktor penghambat."
Masalah itu juga kemudian mendasari penundaan operasi tentara Indonesia terhadap Timor Leste, sampai selesainya kunjungan Ford dan Kissinger, yang dijelaskan dalam dokumen 4.
Dokumen 4, tertanggal 6 Desember adalah transkrip resmi dari diskusi antara Ford, Suharto dan Kissinger di Jakarta sehari sebelum invasi penuh.
Dokumen ini jelas mencatat Soeharto meminta, dan menerima, persetujuan Ford dan Kissinger untuk invasi tersebut.
Juga terkait Kissinger yang menyinggung tentang penggunaan senjata buatan AS, lalu menekankan bahwa mereka hanya dapat mempengaruhi reaksi atas operasi tersebut jika itu terjadi setelah mereka kembali ke AS.
“Kissinger: Anda menghargai bahwa penggunaan senjata buatan AS dapat menimbulkan masalah. Itu tergantung pada bagaimana kita menafsirkannya, apakah itu untuk membela diri atau apakah itu operasi asing. Penting agar apa pun yang Anda lakukan berhasil dengan cepat.
"Kami akan dapat mempengaruhi reaksi di Amerika jika apapun yang terjadi, (baru) terjadi setelah kami kembali. "
Pernyataan Kissinger memperjelas bahwa dia dan Ford tidak menentang penggunaan senjata AS.
Kekhawatiran mereka hanyalah agar serangan itu ditunda sampai mereka meninggalkan Indonesia dan dilakukan secepat dan seefektif mungkin.
Dokumen 5, tanggal 5 dan 6 Desember, memberikan jadwal dua hari Kissinger di Indonesia. Ia bertemu dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik, namun tidak ada catatan pertemuan itu yang ditemukan.
Setelah invasi, pemerintahan Ford seolah-olah menunda penjualan senjata baru ke Indonesia, menunggu tinjauan Departemen Luar Negeri selama enam bulan.
Dokumen 6 adalah transkrip pertemuan staf 17 Juni 1976 antara Kissinger dan kepala biro Departemen Luar Negeri. Pertemuan tersebut merekomendasikan agar tidak mengirimkan seorang wakil untuk mendampingi delegasi parlemen Indonesia ke Timor Timur.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik disini