Intisari-Online.com - Salah satu seorang yang memegang peran penting dalam proses transisi kekuasaan dari tangan Soeharto ke B.J. Habibie adalah Jenderal Wiranto.
Saat itu, dia menjabat Menhankam/Pangab.
Dalam masa jabatannya itu, telah muncul isu dikotomi ABRI merah-putih dan ABRI hijau.
Dikutip dari buku berjudul 'Kontroversi Kudeta Prabowo,' pada hari-hari panjang Mei 1998, Wiranto mengaku pernah dituduh membangkang kepada Soeharto, yang melaporkan adalah Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto.
Pada 15 Mei, ibukota telah porak poranda akibat kerusuhan yang sudah terjadi 3 hari.
Soeharto kemudian mengangkat Panglima Komando Operasi Keaspadaan dan Keselamatan Nasional.
Pangab Jenderal Wiranto dipercaya menjadi Panglimanya dan pelantikan dilakukan 3 hari kemudian.
Pengangkatan tersebut membuat rivalnya tidak puas, termasuk Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto.
Prabowo pun datang ke mertuanya, Soeharto, membawa bukti ketidaksetiaan Wiranto.
Yaitu berupa konsep pernyataan pers ABRI, berisi dukungan ABRI terhadap sikap NU yang meminta Soeharto mengundurkan diri.
Soeharto tidak percaya terhadap pengaduan itu dan malam harinya memanggil iranto ke rumah.
Namun Jenderal Wiranto berkata, Jika Presiden Soeharto sudah tidak percaya lagi padanya, dia memilih mundur.
Konon Soeharto menggeleng dan berkata 'teruskan saja tugasmu.'
Presiden Soeharto yang telah memutuskan mundur dari jabatannya, memberi Wiranro mandat melalui Inpres No.16 Tahun 1998 untuk melakukan apa saja demi keamanan negara.
Banyak pihak membandingkan mandat itu setara dengan Supersemar yang diiterima Soeharto dari Soekarno.
Malam hari 20 Mei 1998, Soeharto mengambil keputusan penting untuk merencanakan mundur esok harinya, 21 Mei digantikan oleh Habibie.
Pada 22 Mei saat Habibie menyusun kabinet baru, dia menerima surat dari Jenderal Besar A.H. Nasution.
Surat itu menyarankan agar Habibie mengangkat Jenderal Subagyo H.S. menjadi panglima ABRI (pangab) dan Letjen Prabowo Subianto sebagai KSAD.
Tapi Habibie bergeming dan mempertahankan Wiranro di posisi Pangab.
Padahal, di mata Prabowo dan kawan-kawan, Wiranto telah membuat kesalahan besar karena tak mampu mengendalikan kerusuhan massal di Jakarta, pertengahan Mei 1998.
Isu Militer Bermain dalam Peristiwa Mundurnya Soeharto
Menanggapi isu militer bermain dalam peristiwa mundurnya Soeharto, Wiranto menjawab:
"Tuduhan itu benar-benar tidak rasional. Militer yang mana?"
"Tidak masuk akal merancang sesuatu yang bertentangan dengan Saptamarga dan sumpah prajurit."
"Militer tidak mendapatkan keuntungan sama sekali dari peristiwa itu."
Habibie sendiri menilai, dengan mandat Inpres No.16 Tahun 1998, bisa saja Wiranto mengerahkan pasukan untuk merebut kekuasaan pada saat itu, tapi itu tak dilakukannya.
(*)