Intisari-Online.com - Pada 2009, sekor robot ular, yang mampu merekam video dan suara di medan perang, dikembangkan oleh Israel agar bisa bergabung dengan persenjataan hi-tech IDF.
Menurut laporan The Jerusalem Post, robot mata-mata, yang panjangnya sekitar dua meter dan ditutupi kamuflase militer, meniru gerakan dan penampilan ular sungguhan.
Ia bisa merayap di sekitar gua, terowongan, retakan, dan bangunan, sementara pada saat yang sama mengirim gambar dan suara kembali ke seorang tentara yang mengontrol perangkat melalui komputer laptop.
Robot ular ini juga mampu membengkokkan sambungannya dengan sangat baik sehingga dapat masuk melalui ruang yang sangat sempit.
Robot ini digunakan untuk menemukan orang yang terkubur di bawah bangunan yang runtuh.
Ular itu juga mampu melengkungkan tubuhnya, memungkinkannya untuk melihat melewati rintangan melalui kamera kepalanya.
Peneliti mempelajari pergerakan ular hidup untuk membuat versi robotik yang paling alami dan realistis.
Selain merekam multimedia, ular tersebut juga dapat digunakan untuk membawa bahan peledak.
Kementerian Pertahanan, dengan para ahli dari Technion-Israel Institute of Technology, mendasarkan robot pengumpul intelijen mereka pada proyek sebelumnya dari Universitas Ben-Gurion, yang menciptakan sekumpulan hewan robotik dengan kemampuan khusus.
Sebelumnya, para peneliti di Universitas Ben-Gurion melaporkan bahwa mereka telah mengembangkan "robot ular" yang mampu menavigasi melalui pipa dan lubang sempit.
Laporan Ben-Gurion juga merinci hewan robot lainnya, termasuk, kucing yang memanjat dinding menggunakan cakarnya, dan "anjing-droid" yang merespons gerakan manusia.
Ide robot mirip ular bukanlah hal baru di dunia teknologi.
Shigeo Hirose, seorang profesor di Departemen Teknik Mesin dan Dirgantara di Institut Teknologi Tokyo, telah mengerjakan "robot ular" sejak tahun 1970-an.
Robot ACM-R5 Hirose, yang memiliki kemampuan untuk meluncur di air dan memulai debutnya di Pameran Dunia 2005 di Aichi, Jepang.
Pada 2020 silam, militer Israel dilaporkan sedang menguji coba teknologi pengenalan wajah di wilayah Tepi Barat yang diduduki untuk mengenali warga Palestina.
Perangkat lunak bioteknologi itu dipasang di pos-pos pemeriksaan militer sebagai bagian dari operasi pemantauan warga sipil yang keras.
Teknologi pengenalan wajah itu dikembangkan oleh Anyvision Interactive Technologies, sebuah firma biometrik pemula paling dikenal di Israel.
Perusahaan yang berbasis di Inggris tersebut beroperasi di lebih dari 350 lokasi di 43 negara dan saat ini sedang mengerjakan dua proyek bersama dengan militer Israel di wilayah Palestina yang diduduki.
Demikian diberitakan TheMarker, surat kabar harian bisnis berbahasa Ibrani.
Salah satu proyek tersebut adalah dengan mendirikan 27 pos pemeriksaan biometrik di wilayah Tepi Barat yang diduduki, termasuk stasiun identifikasi dan inspeksi baru yang digunakan untuk memantai pekerja Palestina yang menyeberang ke Israel.
Proyek kedua adalah penggunaan teknologi pengenalan wajah melalui kamera di dalam wilayah Tepi Barat yang diduduki untuk memantau warga sipil Palestina, menurut TheMarker.
Penggunaan teknologi Anyvision yang umumnya digunakan di bandara, atau tempat publik lainnya.
Seperti stadion olahraga itu, dimanfaatkan Israel untuk menargetkan warga Palestina, menjadi hal yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Menurut salah satu pendiri sekaligus kepala eksekutif Anyvision, Eylon Etshtein, perusahaannya hanya menjual teknologinya kepada negara demokrasi yang peka terhadap bias ras dan gender.
(*)