Intisari-Online.com -Pemerintah militer Burma berusaha mengubah citra buruk di mata para pemimpin Barat.
Salah satu yang rezim militer adalah merekrut mantan pejabat intelijen militer Israel yang dikenal karena membela klien yang kontroversial.
Ari Ben-Menashe, pelobi Israel-Kanada kelahiran Teheran, dipekerjakan oleh Tatmadaw minggu ini.
Dilansir The Guardian, Ben-Menashe bertugas untuk membantu menjelaskan situasi nyata di Myanmar.
Ben-Menashe, seorang mantan pedagang senjata ini sempat bekerja untuk penguasa lama Zimbabwe Robert Mugabe, junta militer Sudan, dan calon presiden di Venezuela, Tunisia, dan Kirgistan.
Ben-Menashe mengiyakan kabar perekrutannya oleh junta militer Myanmar.
Dalam sebuah wawancara, dia mengaku akan dibayar dengan nominal besar jika sanksi terhadap militer Myanmar dicabut.
Diketahui pejabat tinggi militer Myanmar dijatuhi sanksi oleh pemimpin dunia karena dituduh melakukan kejahatan kemanusiaan dan melakukan kudeta.
Ben-Menashe mengatakan perusahaan konsultan politiknya, Dickens & Madson Canada, disewa jenderal Myanmar untuk membantu berkomunikasi dengan AS dan negara lainnya.
Menurut militer Myanmar, negara Barat salah paham terhadap mereka.
Lebih lanjut, Ben-Menashe yang mewaliki junta militer, menyiratkan bahwa Aung San Suu Kyi sebenarnya punya andil besar dalam kekerasan terhadap etnis Rohingya.
Pemimpin de facto yang dikudeta pada 1 Februari itu juga dikatakan mendorong Myanmar ke bawah pengaruh China.
Kerjasama militer dengan Ben-Menashe terungkap disaat protes anti-kudeta meledak di Myanmar, pada Minggu (7/3/2021).
Padahal di malam sebelumnya, pemimpin gerakan dan pentolan demo digerebek tentara.
Polisi menembakkan gas air mata dan granat kejut ke pengunjuk rasa di Kota Yangon dan Lashio.
Seorang saksi mata mengatakan polisi melepaskan tembakan untuk membubarkan protes di Kota Bagan.
Beberapa orang lainnya mengaku aparat menggunakan peluru tajam, beruntung tidak ada laporan korban jiwa.
Ben-Menashe (69) mulai dikenal di AS karena menuduh calon presiden AS Ronald Reagan bersekongkol dengan kaum revolusioner Iran untuk tidak membebaskan sandera Amerika selama kampanye pemilu 1980 melawan Jimmy Carter.
Dalam sebuah laporan Reagan disebut membantu persenjataan ke Republik Islam Iran untuk mendanai perang rahasia melawan kelompok sayap kiri di Amerika Latin.
Sementara itu di Inggris, Ben-Menashe mengklaim bahwa Robert Maxwell adalah agen Mossad.
Robert Maxwell membantah klaim tersebut dan menggugat, tetapi meninggal sebelum kasus itu bisa disidangkan.
Lebih lanjut, Ben-Menashe mengatakan bahwa militer mengkudeta Aung San Suu Kyi agar Myanmar tidak jatuh ke dalam pengaruh China.
"Ada dorongan nyata untuk bergerak ke arah barat dan Amerika Serikat daripada mencoba lebih dekat dengan China," kata Ben-Menashe kepada Reuters.
"Mereka (militer) tidak ingin menjadi boneka Tionghoa."
Klaim ini tidak dapat diverifikasi karena Suu Kyi sendiri masih dalam tahanan rumah.
Namun nampaknya ini upaya untuk menempatkan junta militer di samping pemerintah yang represif di negara lain, seperti Mesir.
Mesir berada di bawah perlindungan negara Barat untuk mempertahankan dari ekstremis sehingga pengaruh China tidak tumbuh di sana.
Ben-Menashe mengatakan kepada Foreign Lobby bahwa Suu Kyi juga memainkan peran penting dalam marjinalisasi orang-orang Rohingya.
"Aung San Suu Kyi sebagai pemimpin adalah yang melakukannya di Rohingya, bukan tentara," katanya.
Suu Kyi berulang kali membela kekerasan militer di Myanmar termasuk di Den Haag pada 2019, hingga muncul seruan agar hadiah Nobel Perdamaiannya dicabut.
Tetapi PBB menemukan bahwa para pemimpin militer Myanmar bertanggung jawab atas perencanaan dan pelaksanaan kekerasan.
Ben-Menashe mengatakan kepada Reuters bahwa militer dapat membuktikan hasil pemilu melawan Suu Kyi dicurangi dan etnis minoritas diblokir dari pemungutan suara.
Menyoal kekerasan aparat melawan demo, Ben-Menashe mengatakan bahwa polisi yang menangani aksi protes dan bukan militer.
Meskipun banyak video viral menunjukkan tentara bersenjata lengkap saat demo berlangsung.
(*)