Intisari-Online.com - Hein Yar Zar meringis saat seorang seniman tato menggoreskan jarum suntuk di tubuhnya.
Ya, dia sedang melakukan tato di tubuh.
Dari foto yang beredar, ternyata Hein Yar Zar menato wajah kekasihanya, cinta pertamanya.
Dilansir dari straitstimes.com pada Senin (8/3/2021), kekasih Hein Yar Zar adalah seorang pengunjuk rasa muda yang tewas dalam aksi perlawanan terhadap kudeta militer.
Mya Thwate Thwate Khaing, nama sang wanita, ditembak di kepala selama demonstrasi di ibu kota Naypyitaw, Myanmar.
Dia pun menjadi salah satu korban tewas pertama dalam kudeta pada 19 Februari setelah 10 hari berada di rumah sakit.
Memang saat ini telah terjadi demonstrasi besar-besaran di Myanmar. Bahkan bisa dibilang pertarungan berdarah.
Di mana pemimpin militer berusahamenggulingkan pemimpin sipil Myanmar Aung San Suu Kyi dan membuat negara ituberada di bawah militer.
Bagi Hein Yar Zar yang masih berusia 21 tahun,kematian yang tiba-tiba dari kehidupan kekasihnya telah membuatnya bertekad untuk terus memprotes. Bahkan saat dia berduka.
"Kami punya banyak rencana untuk tahun ini."
"Namun dia meninggal ketika ulang tahunnya sangat dekat," katanya kepada Agence France-Presse.
"Jadi aku menato potretnya karena aku merindukannya. Itu kenangan buat kami."
Dua hari setelah dia ditembak, Mya Thwate Thwate Khaing (20) tidak sadarkan diri di ranjang rumah sakit.
Beberapa hari kemudian, spanduk sepanjang 15 meter yang menggambarkan saat dia dipukul oleh militer digantung di jembatan di pusat komersial Yangon.
Bahkan beberapa pengunjuk rasa menggambarkannya sebagai pahlawan.
Kematiannya membawa kecaman global terhadap kudeta militer itu.
Dan banyak negara memberlakukan sanksi yang ditargetkan pada para jenderal tersebut.
Saat ini, lebih dari 50 orang tewas selama protes ketika pasukan keamanan melakukantindakan kekerasan yang semakin brutal terhadap para demonstran.
'Aku akan terus berjuang'
Pada 9 Februari 2021, pasangan itu berada di garis depan demonstrasi besar-besaran di Naypyitaw.
"Saya mengiriminya pesan."
"Isinya, 'Tolong telepon saya kembali'. Itu karena saya tidak punya pulsa."
"Namun dia tidak pernah melakukannya," kata Hein Yar Zar.
"Saya tinggal di sampingnya selama di rumah sakit dan saya berdoa setiap hari agar dia menjadi lebih baik."
Militer pada awalnya mengatakan sedang menyelidiki kematiannya.
Tetapi media pemerintah kemudian melaporkan bahwa otopsi tubuhnya menunjukkan peluru itu bukan ditembakkan oleh petugas polisi.
Sejak kematian sang kekasih, kehidupan Hein Yar Zar langsung berubah. Dia hidup dalam kesedihan dan kemarahan.
"Dia memberikan hidupnya untuk revolusi ini. Sebagai pacarnya, saya akan terus melakukannya untuknya," katanya.
"Saya akan terus berjuang agar revolusi ini menang."
Rest in peaceMya Thwate Thwate Khaing dan semua korban di Myanmar.