Intisari-Online.com - Masihkah Anda ingat demonstrasi besar-besaran yang dipelopori mahasiswa tahun 1998 itu?
Saat itu, ratusan mahasiswa menduduki Gedung DPR RI dan memaksa Soeharto mundurdari jabatan Presiden RI.
Kejadian itu terjadipada 21 Mei 1998 dan menyebabkan era Orde Baru runtuh.
Sejak itu, aksi mahasiswa selalu menjadi simbol demokrasi.
Namun tahukah Anda Soeharto dan para mahasiswa tidak selalu berada dikubu yang 'berseberangan'?
Meski dilengserkan oleh ribuan mahasiswa, nyataya adasekelompok mahasiswa yangberinisiatif mendatangiSoeharto dan diterima dengan tangan terbuka olehnya.
Siapakah itu?
Saat itu, hujatan dan demomasih sangat gencar, bersamaan dengan tibanya masa kampanye Pemilu multipartai 1999.
Tak disangka, surat permohonan untuk menemui Pak Harto atas nama pribadi, mahasiswa jurusan jurnalistik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politk (IISIP) Jakarta bernama Hendrikusumo Dimas Febiyanto, yang dikirimkan tanggal 4 Mei 1999, begitu cepat ditanggapi.
Pukul 13.00 WIB tanggal 10 Mei 1999, Sekretaris Pribadi Pak Harto, Letkol (Pol.) Anton Tabah, memberitahukan bahwa pukul 09.00 WIB esok harinya, 11 Mei 1999, Soeharto bersedia menerima kunjungan si mahasiswa.
Selain nama penandatangan surat, juga diminta daftar nama lain yang akan ikut.
Maka dicatatkanlah nama Subhan Lubis (juga mahasiswa IISIP Jakarta) dan Harry Sutiyoso, S.E. (bekas mahasiswa yang telah jadi karyawan swasta).
Sedangkan nama saya, FX Dimas Adityo (mahasiswa Fakultas Sastra jurusan Arkeologi UI), tidak didaftarkan.
Ini memunculkan sedikit persoalan ketika esok paginya saya ikut dalam rombongan.
Setelah dijelaskan, antara lain keikutsertaan saya sebagai juru foto, Sekpri dan para ajudan Pak Harto bisa mengerti. Mereka pun mengizinkannya masuk.
Mereka pun mendatangi kediaman Pak Harto di Jalan Cendana No. 8 Menteng, Jakarta Pusat.
Ketika masuk ke ruang tamu khusus,Pak Harto sudah berdiri menunggu kami, dalam pakaian batik berwarna biru dan celana biru.
Sebelum pintu ditutup, dua orang pelayan menyuguhkan teh hangat untuk kami berempat.
Selanjutnya Pak Harto sendirian menemui kami, tanpa didampingi ajudan atau sekretaris pribadi.
Tak mencerminkan bekas orang kuat
Berbicara sambil tersenyum, tenang, dan penuh nasihat, sungguh tidak mencerminkan Pak Harto sebagai bekas orang kuat yang memerintah dengan gaya "diktator" selama 32 tahun.
"Meskipun hampir setiap hari didatangi tamu, bukan berarti saya menyusun kekuatan untukcomeback, kembali berkuasa, seperti dituduhkan orang," kata Pak Harto.
Mereka yang datang dari aneka macam kalangan kebanyakan hanya bertukar pikiran, bersilaturahmi, atau menyatakan simpati.
Pembicaraan berlanjut ke banyak hal.
Baik mengenai keberhasilan pembangunan maupun kegagalan, karena orang-orang yang tak bertanggung jawab dalam pelaksanaannya.
Ada jawaban yang diberikan setelah ditanya, tak sedikit pula yang langsung dijelaskannya tanpa ditanya.
Mengenai uang simpanan, mengenai yayasan, mengenai KKN, juga mengenai sikap diamnya di antara hujatan bertubi-tubi.
"Saya diam agar tidak menambah keruh daripada suasana."
"Sayakuwatir,apabila saya berbicara atau berbuat sesuatu malah akan menimbulkan hal yang tidak diinginkan," tambah Pak Harto seraya tersenyum.
Tidak terasa, percakapan telah berjalan hampir dua jam.
Perbincangan itu kami rasakan sama halnya seorang bapak yang berbicara di depan anak-anaknya, yang tentunya juga diselingi nasihat-nasihat.
Pukul sebelas lewat kami pun mohon diri, pulang membawa pengalaman yang tak terlupakan.
Terlepas dari kesalahan dan kekeliruannya sebagai manusia biasa, nama Soeharto pernah tercatat dalam sejarah sebagai Bapak Bangsa.
(FX Dimas Adityo. S.S. –IntisariMei 2000)