Intisari-online.com -Tren urbanisasi di Indonesia masih terbilang tinggi.
Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya penduduk warga yang memilih tinggal di kota-kota besar.
Imbasnya, kampung dan desa yang ditinggal warganya menjadi sepi dan sunyi.
Contohnya adalah desa yang terletak di Jawa Timur ini.
Melansir surya.co.id, sebuah kampung di Desa Plalangan, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo, telah lama tidak berpenghuni.
Hanya ada empat rumah yang masih berdiri di kampung yang sering disebut Sumbulan tersebut sunyi.
Pintunya tertutup dan nampak tidak ada aktivitas sama sekali.
Sebagian rumah nampak sudah reot dan struktur bangunannya sudah rusak.
Saat mengunjungi kampung yang berjarak 10 Km dari pusat kota Ponorogo tersebut, satu-satunya bangunan yang masih digunakan aktivitas adalah masjid.
Adalah Tohari, eks warga kampung Sumbulan yang sehari-hari menyempatkan diri untuk menengok kampung halamannya tersebut.
Ia selalu mampir ke kampung halamannya tersebut sepulang dari sawahnya.
Tohari tidak ingin masjid di kampung tersebut mangkrak tak digunakan sama sekali.
"Sepulang dari sawah saya ke sini. Untuk Salat Dhuhur dan Salat Ashar," jelas Tohari.
"Kalau waktunya salat Subuh, Maghrib, Isya ya kosong," lanjutnya.
Tohari menceritakan, dulunya kampung tersebut ramai layaknya kampung yang lain.
Bahkan sempat ada pesantren yang mempunyai cukup banyak santri.
Namun mulai tahun 1960 an, warga kampung Sumbulan mulai meninggalkan kampung halamannya.
"Misalnya menikah, warga sini selalu pindah ikut pasangannya. Lalu ada juga yang kerja dan pindah rumah," terang Tohari.
Begitupun Tohari yang memutuskan untuk pindah ke Kelurahan Kadipaten, Kecamatan Babadan pada tahun 1982.
Mayoritas, penyebab warga Kampung Sumbulan pindah adalah akses jalan yang sulit.
Walaupun tidak terlalu jauh dari pusat kota, Kampung Sumbulan memang terbilang terpencil.
Warga harus melewati jalan setapak lebih dari 3 Km di tengah hamparan sawah yang jauh dari kampung lainnya.
"Sebenarnya ya enak saja tinggal di sini. Listrik juga sudah ada. Tapi tidak ada tetangganya," jelas Tohari.
Jika akses jalan diperbaiki, tidak menutup kemungkinan banyak warga yang akan kembali tinggal di kampung tersebut.
Sementara itu menurut kesaksian warga yang lain yaitu Sumarno yang dulunya merupakan warga Dusun Sumbulan, pesantren yang ada dulunya berada di depan masjid.
“Dulu ponpesnya ada di depan masjid, tepatnya di selatan jalan. Tapi sekarang sudah tidak ada bangunannya,” ujar Sumarno.
Sumarno sekarang sudah pindah rumah, masih di Desa Pelalangan, namun tempatnya mudah dijangkau dan lebih ramai.
Di Dusun Sumbulan sekarang hanya Masjid yang berdiri kokoh dan terawat.
Dulunya masjid itulah tempat ibadah serta mengaji para santri. Di teras masjid juga masih ada bedug yang masih terawat.
Sumarno bercerita bahwa dulu ada ulama yang bernama Nyai Murtadho.
Nyai Murtadho itulah yang mendirikan pondok pesantren yang dulu dikenal dengan sebutan pondok Sumbulan.
Nyai Murtadho ini merupakan anak dari seorang ulama dari Demak, yang 'membabat alas' Dusun Sumbulan tersebut.
“Jadi yang babat Dusun Sumbulan ini bapaknya Nyai Murtadho. Nah, Nyai Murtadho inilah yang mendirikan pondok pesantren disana,” katanya.
Seiring berjalannya waktu, Sumbulan ibarat kampung mati dan sunyi. Pada tahun 1971, saat Sumarno masih kecil, bangunan pesantren telah roboh.
Sehingga semua santri dan warga berpindah ke daerah lain. Alasannya, selain pondok pesantrennya yang sudah tidak ada.
Daerah Sumbulan juga terpencil. Wilayahnya dikelilingi sungai, hanya batas bagian timur yang berbatasan dengan sawah, yang menjadi akses satu-satunya menuju Dusun Sumbulan.
“Namun sebagian sisa-sisa peninggalan masih ada, sebagai sejarah pesantren Sumbulan. Diantaranya kitab kuno serta Al Qur’an yang masih tersimpan rapi,” pungkasnya.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini