Namun, Luckner tak menyerah. Dia dan anak buahnya berpura-pura membuat drama Natal di kamp. Mereka diberi beberapa potong kain sebagai perbekalan, serta peta buku pelajaran.
Kain ini segera menjadi layar dan bendera ketika Luckner dan beberapa anak buahnya menyelinap keluar pada suatu malam setelah memotong saluran telepon.
Setelah itu, mereka mencuri kapal motor milik sang komandan, Mutiara.
Namun, pelarian ini hanya berlangsung beberapa hari, karena kapal pembantu Selandia Baru berhasil menebak tujuannya dan menangkapnya kembali.
Meskipun Luckner akan menghabiskan sisa perang sebagai tawanan, eksploitasi setelah perang mungkin yang paling signifikan dalam hidupnya.
Beberapa tahun setelah gencatan senjata, Luckner menulis otobiografi yang dengan cepat menjadi buku terlaris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Beberapa penulis lain pun menulis tentang ceritanya dan meningkatkan ketenarannya, sering kali menggambarkan dia sebagai seorang pria terhormat.
Kisah Luckner berubah menjadi lebih kelam pada tahun 1938 ketika dia melakukan tur niat baik lainnya, kali ini atas perintah pemerintah Jerman.
Dokumen pemerintah yang baru dirilis mengungkapkan bahwa Luckner berhubungan dengan banyak aktivis sayap kanan dan berbicara di sebuah acara di mana menunya dihiasi dengan swastika.
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR