Intisari-Online.com - Kereta api supercepat pertama di dunia dibangun oleh Jepang, yang dikenal dengan nama kereta Shinkansen.
Berhasilnya Jepang membangun kereta Shinkasen membuatnya jadi pelopor era kereta api supercepat dunia.
Hal itu juga menjadi kebanggaan Jepang, menandai awal kebangkitan negara ini dari kebangkrutan pasca-Perang Dunia II sekaligus menjadi awal negara adidaya ekonomi.
Namun rupanya, pembangunan kereta api supercepat pertama di dunia ini memaksa Jepang menanggung utang menggunung.
Bahkan, desainer bersama dengan presiden perkeretaapian nasional mengundurkan diri dari jabatannya sebelum peresmian kerata Shinkasen.
Hideo Shima, merupakan seorang desainer dan sosok penggerak di belakang pembangunan kereta api supercepat pertama Jepang, yang disebut juga kereta peluru.
Pada awal 1960-an, sebagai kepala teknisi Perkeretaapian Nasional Jepang yang saat itu dikelola negara, ia membantu mendorong rencana rel kereta api berkecepatan tinggi baru yang menghubungkan Tokyo dan Osaka dengan melalui kerumitan birokrasi dan keraguan.
Pelaksanaan proyek mahal itu banyak dipertanyakan dan menjadi kontroversi, meski pada akhirnya berubah menjadi kebanggaan.
Mengutip phys.org, sebagian dari pembangunan sistem kereta api supercepat Jepang pertama dibiayai oleh pinjaman Bank Dunia senilai $ 80 juta.
"Pada tahun 1961, pinjaman dari Bank Dunia ke perkeretaapian nasional Jepang membantu mendanai salah satu proyek perkeretaapian yang paling maju secara teknis di dunia - jalur New Tokaido (proyek Shinkansen) antara Tokyo dan Osaka yang mengangkut kereta peluru terkenal," dikutip dari dokumen.worldbank.org.
Sementara melansir The New York Times, pembangunan sistem Shinkansen menyebabkan Perkeretaapian Nasional Jepang menanggung hutang yang sangat besar, sehingga pada tahun 1987 dipecah dan dijadikan pribadi.
Para pengkritik sistem berpendapat bahwa banyak rute dibangun karena alasan prestise politik, dengan hanya sedikit memperhatikan apakah investasi tersebut masuk akal secara finansial.
Biaya jalur Shinkansen pertama juga membuat Shima kehilangan pekerjaannya.
Pembangunan jalur pertama, yang membutuhkan 3.000 jembatan dan 67 terowongan untuk memungkinkan jalur yang jelas dan sebagian besar lurus, menyebabkan pembengkakan biaya yang sangat besar.
Pada tahun 1963, bersama dengan presiden perkeretaapian nasional, Shinji Sogo, yang telah mendukung ide Shima, ia mengundurkan diri.
Bahkan, pada saat layanan kereta api diresmikan pada 1 Oktober 1964 - waktu pembukaan Olimpiade Tokyo - pada upacara yang dihadiri oleh Kaisar Hirohito dan Permaisuri Nagako, Shima tidak ikut serta dalam perayaan tersebut.
Setelah mengundurkan diri, pada tahun 1969 Shima memulai karir keduanya. Shima menjadi kepala Badan Pengembangan Antariksa Nasional, di mana ia mendorong pengembangan mesin hidrogen untuk menggerakkan roket.
Kemudian dia pensiun pada tahun 1977 dan dihormati oleh Pemerintah ketika Kaisar memberinya Order of Cultural Merit.
Pada 18 Maret 1998, Shima meninggal dunia karena stroke di sebuah rumah sakit di Tokyo dalam usianya yang ke-96 tahun, meninggalkan dua putra dan seorang putri.
Sementara kereta api supercepat Jepang kemudian dipandang sebagai agen perubahan budaya dan sosial, memungkinkan kaum muda di daerah pedesaan untuk mendapatkan akses cepat ke daerah perkotaan utama, dan sebagai cara yang menarik bagi wisatawan untuk melirik pedesaan.
Shinkansen pertama memiliki kecepatan maksimum 210 kilometer (130 mil) per jam. Kereta tercepat sebelumnya, di Eropa, bisa mencapai 160 kpj.
Sementara kereta peluru hari ini, di Jepang dan di tempat lain, telah mencapai dan dalam beberapa kasus melebihi 300 km / jam (186 mph).
Jepang yang hadir sebagai pelopor era kereta api supercepat dunia, kini harus rela menjadi negara di tempat kedua untuk kecepatan keretanya.
China kini menjadi pemimpin negara-negara di dunia dalam hal kecepatan kereta apinya. Kereta Shanghai Maglev miliknya berada di peringkat teratas kereta tercepat di dunia dengan kecepatan 267 mph.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik disini