Advertorial

Berani Ancam AS Lewat Embargo Minyak Tanpa Perlu Jadi Musuh, Inilah Yamani, Mantan Menteri Perminyakan Arab Saudi Pendiri Perusahaan Paling Menguntungkan di Dunia

Muflika Nur Fuaddah
Muflika Nur Fuaddah

Editor

Intisari-Online.com - Syekh Ahmed Zaki Yamani, Mantan Menteri Perminyakan Arab Saudi dikabarkan meninggal dunia di London, Inggris, pada Senin (22/2/2021) dalam usia 90 tahun.

Dapat melambungkan Kerajaan Arab Saudi menjadi negara yang bangkit dan memiliki kekuatan karena minyak bumi, Yamani merupakan tokoh penting.

Tak hanya itu, Yamani juga memegang pengaruh besar di panggung global selama hampir 25 tahun.

Perannya yakni menjadi Menteri Perminyakan Arab Saudi.

Baca Juga: Pantas Saja Tentara Jepang Begitu Perkasa, Melalui Doktrin Ilahi Kaisar Jepang, Tentara Jepang Harus Bertempur Sampai Menang atau Mati Bunuh Diri

Nama Yamani semakin terkenal ketika menginisiasi embargo minyak pada 1973 yang membuat Barat bertekuk lutut sebagaimana dilansir dari NPR, Selas (23/2/2021).

Yamani lahir di kota suci Mekkah dan tumbuh menjadi seorang Muslim yang taat.

Dia merupakan putra seorang hakim yang mengajarinya berdebat dan berpikir logis.

Yamani memperoleh gelar pendidikan tinggi di luar negeri di sebuah universitas di Kairo, Universitas New York, dan Universitas Harvard.

Baca Juga: Indonesia Jadi Sasaran Baru Amukan Massa Anti-Kudeta Myanmar, Media Asing Soroti Langkah Kementerian Luar Negeri RI

Setelah itu, dia kembali ke Arab Saudi dan mendapatkan reputasi sebagai pengacara yang brilian dan sebagai kolumnis surat kabar.

Kiprah Yamani menarik perhatian Raja Faisal.

Raja Arab Saudi tersebut lalu memberikan Yamani jabatan sebagai Menteri Perminyakan, sebuah keputusan yang mengejutkan banyak pihak.

Pengangkatan Yamani tersebut ditulis oleh Ellen Wald, penulis buku Saudi, Inc., yang membeberkan sejarah industri perminyakan Arab Saudi.

Baca Juga: Kalap Beli Mobil Saat KetibanRezeki Nomplok, Justru 15 Mobil Warga Desa 'Pemborong' Mobil Alami Kecelakaan, Terungkap Sang Miliarder Tak Bisa Menyetir

"Yamani bukanlah spesialis pasar minyak, dia adalah seorang pengacara dan negosiator yang sangat lihai," kata Wald.

"Dan di akhir dekade 1960-an dan 1970-an, (kemampuan negosiasi) itulah yang dibutuhkan Arab Saudi," tulis Wald.

Ketika Yamani memperoleh jabatan itu, Amerika Serikat ( AS) mendominasi perdagangan minyak dunia dan Arab Saudi hanyalah produsen minyak kelas menengah, menurut The Wall Street Journal.

Sebagai menteri perminyakan, Yamani dengan cepat mengonsolidasikan reputasi negara sebagai kepala Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC).

Baca Juga: Lockdown Justru Bikin Para Pemikir Hebat Ini ‘Menang’ dalam Tangani Situasi Hingga Hasilkan Karya Jenius dan Terkenal

Setelah Perang Timur Tengah 1973, di mana Mesir, Suriah, dan sekutunya melancarkan serangan terhadap Israel, negara-negara anggota OPEC di Arab menyerukan embargo minyak untuk memprotes dukungan AS terhadap Israel.

Akibatnya, harga minyak mentah meroket.

Hal itu membuat stasiun pengisian bahan bakar di seluruh AS dibanjiri antrean kendaraan.

Daniel Yergin, penulis The New Map yang merupakan sebuah buku tentang energi dan perubahan iklim, mengatakan Yamani merupakan sosok di balik embargo minyak.

Baca Juga: Pantas Jepang Sok Sangar Berani Gempur Pearl Harbor, Ternyata Negeri Samurai Itu Pernah Pecundangi Rusia yang Saat Itu Kekuatannya Unggul Telak dari Jepang

"Arab Saudi, setelah krisis minyak pada 1973, menjadi negara yang sangat kaya dan menjadi bagian yang sangat penting dari perekonomian dunia,” ujar Yergin.

Dia menambahkan, Arab Saudi lantas didekati oleh bank-bank Barat dan memiliki pendapatan yang benar-benar melambung.

"Dan Yamani benar-benar pria di balik itu semua,” ujar Yergin.

Juga pada awal 1970-an, Yamani memulai proses negosiasi yang panjang untuk kontrol Arab Saudi atas apa yang saat itu disebut Arabian American Oil Co.

Baca Juga: Peduli Setan Habis Duit Rp900 Ribuan Pria Ini Nekat Beli Air Liur Pasien Covid-19 Hanya Untuk Lancarkan Tujuan Busuknya Ini

Perusahaan itu dulunya dikendalikan oleh empat perusahaan minyak AS yakni Exxon, Chevron, Mobil, dan Texaco.

Yergin mengatakan, Yamani memainkan kartunya dengan sangat hati-hati.

Dia menegosiasikan kesepakatan yang memungkinkan kerajaan mengendalikan perusahaan, yang sekarang dikenal sebagai Saudi Aramco, tanpa mengganggu pelayanan.

"Arab Saudi tidak hanya merebut Aramco dari perusahaan-perusahaan Barat, tetapi juga merundingkan partisipasi ini,” kata Yergin.

Baca Juga: Konspirasi Gagal yang Mengubah Dunia, Bila Berhasil, Tak Mungkin AS Menjadi Negara Adidaya Seperti Sekarang Ini

“Jadi pada 1980-an, dia memiliki kendali penuh, tetapi juga akhirnya mempertahankan hubungan yang sangat baik dengan perusahaan-perusahaan itu dan memandang mereka untuk teknologi dan bahkan personel,” imbuh Yergin.

Saat ini, Aramco adalah salah satu perusahaan paling menguntungkan di dunia.

Pada tahun 2020 Forbes Global 2000, Saudi Aramco menduduki peringkat sebagai perusahaan publik terbesar ke-5 di dunia.

Saudi Aramco menunjuk Hasan Al-Zahrani sebagai direktur eksekutif sistem tenaga sejak Desember 2020.

(*)

Artikel Terkait