“Apabila kelak kelima wayang itu sudah kembali lagi di keraton, maka baru pada waktu itulah negara akan makmur sejahtera, demikian ramalan Hamengkubuwono I.” Ini dikisahkan oleh HB IX.
Dikisahkan, pada masa HB III berkuasa, kelima wayang itu hilang.
Pada pemerintahan HB VIII, ayah HB IX, dua wayang diketemukan setelah diadakan pencarian.
“Sesungguhnya, menurut kepercayaan Jawa, pusaka itu memang dapat hilang dengan sendirinya, dan tanpa dicari dapat kembali pula dengan sendirinya,” ujar HB IX.
Ketika Dorodjatun (nama kecil HB IX sebelum menjadi sultan dan belum bergelar HB IX), pulang dari studi di Belanda, datang ke Keraton Yogya, seorang Tionghoa dari Cirebon.
Orang Tionghoa ini membawa salah satu wayang yang hilang itu. Wayang itu adalah tokoh Arjuna.
Setelah melalui proses penelitian, ternyata benar wayang tokoh Arjuna itu adalah satu yang hilang.
“Figur yang diserahkan waktu itu adalah tokoh Arjuna yang indah sekali,” ujar HB IX.
“Orang yang menyerahkan itu menyerahkan memberikannya dengan ikhlas dan tidak mau diberi imbalan apa pun. Kami hanya memberi sekadar biaya pulang ke Cirebon saja. Dengan demikian , tiga dari lima wayang kulit itu telah berada di keraton,” ujar HB IX.
Tokoh Srikandi
Menjelang kelahiran putera pertama HB X tahun 1946, datang pula di keraton, seseorang dari Ambarawa membawa wayang kulit, tokoh Srikandi (istri Arjuna), bertatah halus dan cantik.
Pembawa wayang tokoh Srikandi ini bercerita, tempat tinggalnya beserta sekelilingnya baru saja diserbu pasukan Belanda.
Baca Juga: Simak 9 Fakta Galaksi Bima Sakti, Termasuk Berasal dari Kisah Wayang
Hampir semua rumah di wilayah itu terbakar kecuali tempat tinggalnya yang masih utuh.
HB IX segera datang ke Ambarawa untuk mencek kebenaran cerita pembawa tokoh wayang Srikandi tersebut.
Betul, ternyata rumah pembawa wayang itu, berupa gubuk kecil, samasekali tidak terbakar.
“Masih berdiri utuh ditengah-tengah puing-puing bekas serbuan Belanda dan bekas kebakaran di seluruh kawasan itu,” ujar HB IX.
Pesan yang menyertai pengembalian wayang Srikandi ke keraton ini adalah agar bayi yang akan lahir waktu itu diberi nama Arjunawiwaha.
“Saya pikir, kurang enak bagi anak itu kelak apabila saya beri nama Arjunawiwaha. Lalu saya mencari bunyi lain di mana nama Arjuna dapat dimasukan. Maka anak saya itu pada kelahirannya saya beri nama Herjuno Darpito."
"Anak ini pula yang dewasa ini telah diberi gelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Mangkubumi (Kini jadi Sultan dan gubernur daerah istimewa Yogyakarta),” demikian kisah HB IX yang ditulis awal 1982 tersebut.
Baca Juga: Kucing Tiga Warna; Ini Enam Jenis Kucing Calico Keren dan Menyenangkan
Dengan demikian, kini (ditulis pada tahun 1982) empat dari kelima tokoh wayang telah kembali di Keraton Yogya. Tinggal menunggu sebuah lagi akan lengkaplah kelimanya.
“Tetapi berupa apa yang kelima ini saya tidak tahu,” ujar HB IX saat itu.
Rabu, 27 Januari, saya kontak lewat telepon Ibu Gusti Kanjeng Ratu Hemas yang ada di Yogya, untuk minta izin bertanya pada Sultan Hamengku Bawono (gubernur daerah istimewa Yogyakarta) tentang wayang kelima itu.
Ibu Ratu mempersilakan saya datang ke Jalan Suwiryo, Menteng, Jakarta sore itu untuk menemui Ngarso Dalem (HB X) yang kebetulan ada di Jakarta.
Karena saya tidak bisa datang. Kamis pagi, 28 Januari saya kontak lewat telepon dengan Ngarso Dalem yang saat itu siap-siap terbang ke Yogyakarta.
“Akan saya cek dulu,” kata Ngarso Dalem.
Indonesia atau Yogya?
Dalam buku “Takhta untuk Rakyat” terbitan 1982, ketika ditanya, bila tokoh wayang kulit kelima ditemukan, negara yang akan menjadi makmur sejahtera itu, Indonesia atau Yogya saja (?), Sultan HB IX mengatakan, “Sudah saya katakan, soal percaya atau tidak terserah saja.”
“Saya hanya menceritakan kejadian sebagaimana kami alami,” ujar HB IX ketika itu.
“Namun sekali lagi, setiap ramalan hendaknya dihadapi sewajarnya, sekadar diterima sebagai pengetahuan dan jangan terlalu dijadikan pedoman,” demikian tutur HB IX pada 1982.
Kita tunggu Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang memerintah sekarang ini untuk mencek wayang kulit ke-5 tersebut.
Semoga Indonesia, termasuk Yogya, sejahtera makmur, lepas dari pandemi covid-19. Mari kita berdoa dan bekerja. Tidak perlu “padu” (bahasa Jawa, artinya berkelahi dengan suara mulut kaum perempuan) soal “kudeta” dalam partai.
Wayang sendiri merupakan adalah seni pertunjukkan asli Indonesia yang berkembang pesat di Pulau Jawa dan Bali.
Pertunjukan ini juga populer di beberapa daerah seperti Sumatra dan Semenanjung Malaya juga memiliki beberapa budaya wayang yang terpengaruh oleh kebudayaan Jawa dan Hindu.
(*)
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Muflika Nur Fuaddah |
KOMENTAR