Pusaka Jawa Dipercaya Bisa Hilang dan Kembali dengan Sendirinya, Begini Ramalan Sultan Hamengku Buwono I tentang 5 Wayang dan Negara Ini

Muflika Nur Fuaddah
Muflika Nur Fuaddah

Editor

Ilustrasi wayang
Ilustrasi wayang

Intisari-Online.com - Joseph Osdar, seorang kolumnis yang juga mantan wartawan harian Kompas, berbagi kisahnya saat mengunjungi makam para raja-raja Mataram di Kota Gede, Yogyakarta, pada Jumat 22 Januari 2021.

Seperti dilansir Kompas.com, berikut yang dia tuliskan:

Selama tiga tahun terakhir ini, saya sudah dua kali datang ke makam para raja Mataram di Yogyakarta tersebut.

Namun pada 7 Februari 2019 lalu, saya juga datang ke Imogiri selain ke Kota Gede.

Baca Juga: Padahal Hanya Arjuna yang Menang Sayembara dan Berhak Menikahinya, Mengapa Drupadi Berakhir Menikahi 5 Pandawa?

Waku itu, 7 Frebuari 2019, saya mengunjungi antara lain makam Sultan Agung, Sultan Hamengku Buwono I dan Hamengku Buwono IX. Dengan HB IX saya punya kenangan tersendiri.

Pada 1985, saya jumpa Sultan Hamengku Buwono (HB ) IX di sebuah ruang di sebuah rumahsakit di kawasan Rawamangun, Jakarta.

Ketika itu saya dan Wakil Presiden RI 1973 - 1978 itu sedang menjenguk pelukis S Sudjojono yang sedang sakit. HB IX dan Sudjono kini telah almarhum.

Sore itu Pak Jon (sapaan akrab Sudjojono) yang duduk bersila di tempat tidur dan HB IX, duduk di kursi, sedang berbincang-bincang.

Baca Juga: Mengapa Drupadi Punya Lima Suami Pandawa? Ini Kisah Sebenarnya Menurut Tradisi India

Saya mendengarkan kedua tokoh ini kadang-kadang menggunakan bahasa Jawa halus, Bahasa Indonesia dan Belanda.

Sekali-sekali HB IX memandang saya sambil senyum. Beliau tahu saya wartawan.

Nampaknya beliau ingin menyampaikan sesuatu pada saya, tapi terpotong dengan pembicaraannya dengan Pak Jon.

Saat itu saya juga ingin menyampaikan sesuatu pada beliau (HB IX), tapi keinginan saya tidak kesampaian sampai saat ini.

Baca Juga: Ketika Dunia Semata Wayang Fauzie Helmy Manggung dalam Fotografi di Tengah Goro-goro

Ketika itu sebenarnya saya ingin bertanya tentang sosok Nyai Rara Kidul yang pernah menampakan diri pada beliau (Buku Takhta Untuk Rakyat - Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX halaman 106-107 terbitan pertama April 1982 ).

“Saya menyebut Eyang Rara Kidul saja. Dan saya pernah mendapat kesempatan melihatnya setelah menjalani ketentuan yang berlaku, seperti berpuasa selama beberapa hari dan sebagianya,” demikian kata Ngarso Dalem (HB) IX di bawa artikel sub judul Yang Irasional, yang Berbau Mistik (Bab 13).

“Pada waktu bulan naik, Eyang Rara Kidul akan nampak sebagai gadis yang amat cantik. Sebaliknya, apabila bulan menurun, ia tampak wanita yang makin tua,” lanjut HB IX dalam buku terbitan Gramedia itu.

Mistis, percaya atau tidak, terserah

Baca Juga: Bertahan di Tengah Pagebluk, Para Seniman Wayang Orang Berteman dengan Teknologi

Dalam artikel yang ditulis sebagai hasil wawancara ini, HB IX juga melukiskan berbagai hal mistis seperti sosok Sultan Agung (Sultan Mataram ke-4, memerintah 1613-1645).

Bukan hal itu saja.

“Banyak sekali, Kalau saya ceritakan, satu malam suntuk pun tak akan habis. Soal percaya atau tidak, itu terserah kepada masing-masing saja,” ujar HB IX ketika itu.

Salah satu kisah yang menarik bagi saya ialah hal yang berkaitan dengan pemberian nama kepada Sultan Hamengku Bawono X yang sekarang juga menjadi gubernur daerah istimewa Yogyakarta.

Baca Juga: Tak Seperti Ibunya, Kisah Soesalit Djojoadhiningrat, Putra Semata Wayang R.A Kartini Ini Jarang Diketahui, Ternyata Dia Pernah Terseret Pusaran Komunisme

Pada masa pemerintahan Hamengku Buwono I (pendiri kesultanan Yogyakarta, memerintah 1755-1792), telah dibuat lima figur wayang kulit yang kemudian menjadi pusaka keraton.

“Ada di antaranya yang benar-benar merupakan hasil Hamengku Buwono I sendiri, sangat halus dan indah,” demikian kata Sultan HB IX dalam buku itu.

“Pada waktu itu, pendiri Kesultanan Yogya tersebut telah meramalkan bahwa wayang pusaka ini akan hilang pada zaman pemerintahan Hamengku Buwono III, dan akan kembali lagi pada zaman pemerintahan Hamengku Buwono VIII dan Hamengku Buwono IX.”

Ini kata HB IX yang dituliskan di buku itu.

Baca Juga: Wayang Golek: dari Pesanan Cinderamata Presiden Soekarno Hingga Bom Bali yang Bikin Penjualan Menyusut

“Apabila kelak kelima wayang itu sudah kembali lagi di keraton, maka baru pada waktu itulah negara akan makmur sejahtera, demikian ramalan Hamengkubuwono I.” Ini dikisahkan oleh HB IX.

Dikisahkan, pada masa HB III berkuasa, kelima wayang itu hilang.

Pada pemerintahan HB VIII, ayah HB IX, dua wayang diketemukan setelah diadakan pencarian.

“Sesungguhnya, menurut kepercayaan Jawa, pusaka itu memang dapat hilang dengan sendirinya, dan tanpa dicari dapat kembali pula dengan sendirinya,” ujar HB IX.

Baca Juga: Pulau Kalimantan Dikaitkan dengan Tokoh Wayang Semar, 'Guru Besar Antropologi Sebut Tidak ada yang Kebetulan'

Ketika Dorodjatun (nama kecil HB IX sebelum menjadi sultan dan belum bergelar HB IX), pulang dari studi di Belanda, datang ke Keraton Yogya, seorang Tionghoa dari Cirebon.

Orang Tionghoa ini membawa salah satu wayang yang hilang itu. Wayang itu adalah tokoh Arjuna.

Setelah melalui proses penelitian, ternyata benar wayang tokoh Arjuna itu adalah satu yang hilang.

“Figur yang diserahkan waktu itu adalah tokoh Arjuna yang indah sekali,” ujar HB IX.

“Orang yang menyerahkan itu menyerahkan memberikannya dengan ikhlas dan tidak mau diberi imbalan apa pun. Kami hanya memberi sekadar biaya pulang ke Cirebon saja. Dengan demikian , tiga dari lima wayang kulit itu telah berada di keraton,” ujar HB IX.

Tokoh Srikandi

Menjelang kelahiran putera pertama HB X tahun 1946, datang pula di keraton, seseorang dari Ambarawa membawa wayang kulit, tokoh Srikandi (istri Arjuna), bertatah halus dan cantik.

Pembawa wayang tokoh Srikandi ini bercerita, tempat tinggalnya beserta sekelilingnya baru saja diserbu pasukan Belanda.

Baca Juga: Simak 9 Fakta Galaksi Bima Sakti, Termasuk Berasal dari Kisah Wayang

Hampir semua rumah di wilayah itu terbakar kecuali tempat tinggalnya yang masih utuh.

HB IX segera datang ke Ambarawa untuk mencek kebenaran cerita pembawa tokoh wayang Srikandi tersebut.

Betul, ternyata rumah pembawa wayang itu, berupa gubuk kecil, samasekali tidak terbakar.

“Masih berdiri utuh ditengah-tengah puing-puing bekas serbuan Belanda dan bekas kebakaran di seluruh kawasan itu,” ujar HB IX.

Pesan yang menyertai pengembalian wayang Srikandi ke keraton ini adalah agar bayi yang akan lahir waktu itu diberi nama Arjunawiwaha.

“Saya pikir, kurang enak bagi anak itu kelak apabila saya beri nama Arjunawiwaha. Lalu saya mencari bunyi lain di mana nama Arjuna dapat dimasukan. Maka anak saya itu pada kelahirannya saya beri nama Herjuno Darpito."

"Anak ini pula yang dewasa ini telah diberi gelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Mangkubumi (Kini jadi Sultan dan gubernur daerah istimewa Yogyakarta),” demikian kisah HB IX yang ditulis awal 1982 tersebut.

Baca Juga: Kucing Tiga Warna; Ini Enam Jenis Kucing Calico Keren dan Menyenangkan

Dengan demikian, kini (ditulis pada tahun 1982) empat dari kelima tokoh wayang telah kembali di Keraton Yogya. Tinggal menunggu sebuah lagi akan lengkaplah kelimanya.

“Tetapi berupa apa yang kelima ini saya tidak tahu,” ujar HB IX saat itu.

Rabu, 27 Januari, saya kontak lewat telepon Ibu Gusti Kanjeng Ratu Hemas yang ada di Yogya, untuk minta izin bertanya pada Sultan Hamengku Bawono (gubernur daerah istimewa Yogyakarta) tentang wayang kelima itu.

Ibu Ratu mempersilakan saya datang ke Jalan Suwiryo, Menteng, Jakarta sore itu untuk menemui Ngarso Dalem (HB X) yang kebetulan ada di Jakarta.

Karena saya tidak bisa datang. Kamis pagi, 28 Januari saya kontak lewat telepon dengan Ngarso Dalem yang saat itu siap-siap terbang ke Yogyakarta.

“Akan saya cek dulu,” kata Ngarso Dalem.

Baca Juga: Invasi Mongol ke Jawa: Saat Bangsa Penghancur Kejayaan Islam Dipermalukan Majapahit, Berkat Kecerdikan Raden Wijaya

Indonesia atau Yogya?

Dalam buku “Takhta untuk Rakyat” terbitan 1982, ketika ditanya, bila tokoh wayang kulit kelima ditemukan, negara yang akan menjadi makmur sejahtera itu, Indonesia atau Yogya saja (?), Sultan HB IX mengatakan, “Sudah saya katakan, soal percaya atau tidak terserah saja.”

“Saya hanya menceritakan kejadian sebagaimana kami alami,” ujar HB IX ketika itu.

“Namun sekali lagi, setiap ramalan hendaknya dihadapi sewajarnya, sekadar diterima sebagai pengetahuan dan jangan terlalu dijadikan pedoman,” demikian tutur HB IX pada 1982.

Kita tunggu Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang memerintah sekarang ini untuk mencek wayang kulit ke-5 tersebut.

Baca Juga: Pengepungan Masada: Saat Sebuah Slip Gaji Kuno Ungkap Keapesan Prajurit Romawi yang Bunuh Ratusan Keluarga Yahudi Tapi Gajinya...

Semoga Indonesia, termasuk Yogya, sejahtera makmur, lepas dari pandemi covid-19. Mari kita berdoa dan bekerja. Tidak perlu “padu” (bahasa Jawa, artinya berkelahi dengan suara mulut kaum perempuan) soal “kudeta” dalam partai.

Wayang sendiri merupakan adalah seni pertunjukkan asli Indonesia yang berkembang pesat di Pulau Jawa dan Bali.

Pertunjukan ini juga populer di beberapa daerah seperti Sumatra dan Semenanjung Malaya juga memiliki beberapa budaya wayang yang terpengaruh oleh kebudayaan Jawa dan Hindu.

(*)

Artikel Terkait